Menjelang magrib ketika Ranting tiba di rumah. Seperti biasa, rumah berdinding papan itu sunyi, tidak ada suara yang terdengar, entah bunyi radio atau pun gemercik tetes air di pancuran. Dulu semasa ayahnya masih hidup, selalu ada suara radio yang meramaikan rumah. Entah berlagu keroncong, cerita wayang atau sandiwara radio. Tapi sesudah ayah berpulang, Simbok menyimpan radio itu di sudut lemari dan tak pernah lagi menghidupkannya.
“Akan mengingatkan pada Bapakmu, terutama pada janjinya bahwa tidak akan pernah meninggalkan kita berdua,” begitu simbok memberi alasan ketika suatu kali Ranting kecil ingin menyalakan radio itu.
Ranting kecil yang selalu patuh lalu diam tanpa membantah. Di kemudian hari dipahaminya alasan simbok, sembari menduga bahwa barangkali ayahnya kurang lengkap ketika mengucapkan janji itu. Seharusnya janji itu di lengkapi dengan tidak akan pergi meninggalkan selama hidup dikandung badan. Atau ini : tetap setia sampai maut memisahkan mereka. Seperti yang layaknya tercantum dalam kalimat mutiara di album kenangan tempo dulu.
Begitulah, sehingga simbok akan maklum dan tidak menganggap ayah ingkar janji ketika tidak dapat menolak datangnya maut yang menjemput melalui sakit tetanus di peternakan pak Den Bei.
Sekarang yang menandakan bahwa rumah papan itu berpenghuni, adalah cahaya redup dari bola lampu kuning yang berpendar di tengah ruangan. Lampu yang tentu telah dinyalakan simbok dengan bersusah payah merambat dari amben ke tiang di ambang pintu, untuk menjangkau tombol lampu supaya menyala. Ranting selalu berusaha untuk sampai di rumah sebelum senja, supaya bisa menghidupkan lampu itu sebelum gelap langit menyusup dalam rumah. Tapi usaha itu tidak selalu berhasil. Kadang-kadang ada banyak hal yang harus dilakukan sehingga membuatnya terlambat, tak mampu mendahului gelap senja.
Ranting mendorong pintu, dan terkejut. Simbok seperti biasa, bersandar di amben pada sudut ruang. Yang mengejutkan, pada meja di samping amben, bertumpuk banyak benda, yang tidak pernah mereka miliki selama ini. Sekeranjang apel merah, aneka biskuit dalam kaleng beragam bentuk dan warna, setumpuk kain batik, beberapa botol sirup. Ditambah dengan sekarung beras dan seplastik besar gula pasir yang tersandar di kursi.
“Apa ini mbok? Dari siapa?” tanya Ranting ternganga.
“Dari pak Basudewo, hasil penukaran kupon itu, katanya tak termuat di beronjongmu, sehingga diantar ke rumah kita,” jawab simbok.
“Setiap kupon mendapat sejumlah ini, betapa baik hatinya pak Basudewo. Entah seberapa besar rejeki yang melimpahinya?”
Ranting terdiam. Dia tahu pasti, meski melimpah besar rejeki yang memenuhi pundi-pundi Basudewo tapi tidaklah sejumlah ini untuk penukaran kupon yang mereka bagikan untuk setiap keluarga. Telah didengarnya perbincangan para bakul, bahwa paket kupon itu adalah sejumlah ala kadarnya beras, gula pasir, mie kering, teh, minyak goreng, kecap, sirup dan sekaleng ikan sarden. Tanpa apel, tanpa kain batik, tanpa kaleng-kaleng biskuit. Itu semua adalah tambahan belaka. Kalau seseorang Basudewo menambahkan itu semua, tentu bukannya tanpa maksud. Maksud yang terkandung di dalamnya pastilah juga berkaitan dengan apa yang dikatakannya tadi siang.
Tubuh Ranting mendingin. Gemuruh seketika memenuhi seluruh rongga dadanya, menyesakkan udara yang mengalir pada sekat paru-parunya. Gadis itu nyaris tersengal, sebelum kemudian dihelanya napas panjang, meredakan gejolak yang hampir meluap.
Sesungguhnya kemarahan memang tidak pernah berhasil menjamah Ranting. Ranting kecil, atau sekarang sebagai perempuan muda, tidak pernah terjebak pada gejolak kemarahan. Bila kemarahan diibaratkan sebagai hujan, maka yang dimiliki Ranting hanyalah awan-awan mendung, yang selalu hanya menjadi mendung, entah gelap pekat atau langit abu-abu yang samar. Tapi selalu tidak pernah berhasil menjadi hujan. Ranting selalu hanya sampai pada tahap akan marah, tanpa pernah benar-benar menyerahkan diri pada kemarahan itu sendiri.
Kekuatan atau justru kelemahan?
Pendapat umum akan mengatakan bahwa itu adalah ciri khas kelemahan, atau bahkan pertanda ketakutan, karena tidak pernah mampu menunjukkan kemarahan, karena kemarahan seringkali diidentikkan sebagai kekuatan, sesuatu yang menakutkan, yang disegani, yang menguasai.
Tapi sebaliknya pada sisi yang lain, justru menunjukkan kekuatan yang luar biasa. Karena sesungguhnya tidak banyak orang yang mampu mengendalikan diri dari aroma kemarahan, yang seringkali menjebak, menguasai, dan mengendalikan seseorang untuk melakukan hal-hal tak terduga, yang tak bisa dilakukannya tanpa dorongan kemarahan. Kemarahan lebih banyak meniadakan akal sehat, mengesampingkan etika, bahkan membutakan pikiran.
Ranting, dengan kekuatan khususnya, selalu berhasil mementahkan segala jebakan dari pusaran kemarahan itu. Seperti yang sekarang terjadi. Ranting diam dan menyimpan sendirian awan-awan mendung kemarahan dalam sudut hatinya.
“Ada seplastik kuah soto, kusuapi ya mbok?” katanya kemudian. “Sudah lama simbok tidak makan soto, akan kuhangatkan dulu, biar tambah enak.”
Simbok mengiakan. “Karakmu habis hari ini?”
“Ada sedikit karak sisa, melempem, dari warung lotek bu Siti. Lha dia seminggu ini ndak buka warung, ya pantes mlempem semua karakku.”
“Yo wis ndak apa-apa, nanti kita makan sendiri. Karak mlempem enak dimakan dengan nasi putih hangat. Dulu ayahmu suka makan itu, ditambah dengan sambel kecap atau sambel bawang.”
“Simbok mau kubuatkan sambal juga?”
“Tidak,“ simbok menggeleng. “Kondisi seperti ini, mana berani makan yang pedas-pedas, nanti menimbulkan penyakit baru.”
“Oya, tadi pegawainya pak Basudewo mengatakan, kapan-kapan kalau ada waktu pak Basudewo akan datang membezukku. Alangkah baik hatinya. Padahal dulu bu Masari cuma sebentar saja jadi pelanggan karakku, sekarang malah tidak sama sekali.”
Ranting terhenyak.
“Pak Basudewo akan datang ke rumah kita? Kapan?”
“Embuh, durung tentu (Entah, belum pasti). Mungkin juga hanya basa-basi pegawainya saja waktu mengantar paket kupon. Apalah kita ini, sehingga harus didatangi oleh juragan Basudewo, sedangkan bagi kita mendapatkan pembagian berkatnya saja, sudah lebih dari cukup?”
Kegelisahan perlahan merayapi Ranting, praduga yang menyiratkan aneka pertanyaan menggoreskan kekawatiran yang tak terhindarkan. Berbagai praduga melintas-lintas, berseliweran, sangat mengganggu serupa dengungan tawon yang terbang berputar mengitari kepala, membuat pemilik kepala harus mewaspadai ancaman sengatannya. Sendirian Ranting menyimpan kekawatiran itu, berpadu dengan kegelisahan dan kewaspadaan akan sebuah sengatan yang entah macam apa.
*