Senja sudah merayap dan menyelimutkan gelap pada setiap belah ruang kala itu, ketika Ranting belum juga muncul di ambang pintu. Seperti biasa Simbok merayap tertatih berusaha menjangkau tiang di mana tombol lampu berada. Tapi karena keterbatasan cahaya dan licin lantai, serta kelemahan kaki simbok menopang bobot tubuh lengkap dengan benjolan besar tumornya, langkah kaki Simbok terhuyung. Keseimbangan tubuh goyah seketika dan tak tercegah lagi, Simbok rubuh dengan satu sisi perut membentur ujung runcing sudut meja. Selubung kulit yang menipis karena terpaksa melebarkan diri oleh desakan tumor yang terus membesar itu robek, tak kebal oleh ujung runcing meja kayu. Sebuah luka tersobek mengalirkan merah darah dan cairan kental kuning pekat. Simbok tak sadarkan diri, ditelan gelap mata yang terpejam sekaligus gelap malam yang makin pekat.
Ujung meja sejatinya bukanlah senjata. Meja, dengan segala kediamannya, selalu hanya bertahan, tidak pernah menyerang. Keempat kaki yang melengkapi keempat segi runcing pada tiap sudut, selalu menjaga meja dalam diam, tidak pernah menggerakkan diri, apalagi menyerang. Tapi ketika sesuatu terbentur padanya, maka segi runcing itu bisa menorehkan luka dengan kedalaman yang tak terduga, mungkin bahkan lebih melukai dari sebilah pedang. Karena gerak pedang ada dalam kendali, sementara meja memiliki kekuatannya sendiri, yang bahkan bisa lebih liar dari gerakan kuda tanpa tali kekang.
Senja itu simbok merasakan ketajaman segi runcing itu.
Ranting sampai di persimpangan kampung ketika mobil ambulans itu melintas tergesa. Tergopoh-gopoh Ranting segera menepikan sepeda, memberi jalan dengan ruang lebih lebar supaya mobil ambulance itu melintas lebih leluasa. Suara sirinenya yang meraung-raung, serta kiblatan lampunya yang berkebyaran, seakan serupa teriakan yang menuntut dan tak dapat ditolak oleh pengguna jalan lainnya. Tuntutan yang lebih mirip keputusan fait accomply, harus dilaksanakan, tanpa alternatif pilihan lainnya.
Ranting memenuhi tuntutan ambulans itu tanpa prasangka. Namun ketika lengking ambulans itu mulai lamat, mendadak jantungnya berdebar. Semacam praduga menghadirkan gemuruh kecemasan yang memenuhi rongga jantungnya. Ranting terkesiap seketika oleh sebuah dugaan. Dan ketika seorang tetangga muncul tergopoh menuju padanya, maka lengkaplah sudah kecemasannya.
“Simbok, Ran, Simbok …...” seru tetangga menunjuk ambulans yang menjauh.
Seketika itu juga Ranting melempar sepeda tanpa berpikir dan meloncat memburu ambulans. Tapi terlambat, mobil putih itu telah menghilang di tikungan, membawa cahaya lampu yang berkilat-kilat, menebar suara lengking sirene, berusaha memburu waktu untuk simbok yang berada di dalamnya.
“Ada apa Bude, Simbokku piye?” seru Ranting dengan kecemasan tak terbendung.
“Jatuh, Ran, perutnya sobek, darahnya banyak …..” Bude menjelaskan seadanya.
Ranting membeku.
*
Petugas UGD rumah sakit itu menjelaskan dengan terperinci. Dijabarkannya tata prosedural aturan rumah sakit yang berlaku, dengan susunan kalimat yang jelas, rapi, runtut. Tidak diperlukan kening yang berkerut untuk memahaminya. Begitu gamblang aturan itu tersampaikan, mudah untuk dipahami. Namun, alangkah sulit untuk memenuhi tuntutan-tuntutan yang terkandung di dalamnya.