“Kapan simbok boleh pulang Ran?” tanya simbok suatu pagi setelah menyelesaikan sarapannya.
“Belum tahu, mbok, menunggu ijin dokter” jawab Ranting seraya merapikan rantang kotor berisi sisa sarapan.
“Tapi aku wis sehat, wis ora diinfus, menunggu apalagi?”
“Tidak tahu,” Ranting angkat bahu “Mungkin karena simbok terlalu kurus, jadi istirahat di sini dulu beberapa waktu lagi supaya bertambah gemuk, baru boleh pulang.”
“Ngawur wae (sembarangan)” sergah simbok. “Piye bisa gemuk, lha wong makanan rumah sakit ora ono sing enak. Ora ono rasane, kabeh masakan anyep (bagaimana bisa gemuk, ransum makanan di rumah sakit tidak ada yang enak, semua hambar).”
Ranting tersenyum “Namanya juga menu untuk orang sakit, pasien dengan beragam penyakit, ya tentu saja serba terbatas bumbunya.”
“Karena itu, segeralah bawa simbok pulang Ran, aku sudah tidak kerasan. Simbok sudah rindu rumah, sudah ingin membuat karak lagi” pinta simbok penuh harapan tersimpan.
“Ya mbok, sabar ”
“Atau …” suara simbok tersendat. “Kau belum punya uang untuk menebus simbok?”
Ranting tercekat. Lututnya mendadak goyah, menggetarkan seluruh sendi tubuhnya. Disadarinya bahwa tidak mungkin mengelabui simbok selamanya, bahwa penipuan, kebohongan selalu ada batas waktunya. Tapi toh ketika tabir itu harus terbuka juga, maka selalu ada ketidaksiapan yang menyertainya.
“Tidak mbok, tidak begitu” Ranting mencoba berkelit. “Simbok mengalami operasi besar, diperlukan waktu lebih lama untuk masa pemulihan supaya simbok benar-benar sehat sesudahnya.”
“Jangan mengelabuiku” sergah simbok. “Bisa kubedakan kejujuran dan kebohonganmu.”
Ranting tergugu. Matanya berkejap tanpa suara. Tatap matanya mengabur sesaat. Lalu hening. Diam yang senyap.
“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya simbok menyudahi hening.
“Entahlah mbok, aku tidak tahu”
“Seharusnya simbok tidak boleh jatuh ya? Atau seharusnya tidak kau setujui operasi mendadak itu.”
“Tidak mbok” bantah Ranting menepis rasa bersalah yang memenuhi Ibunya.”Jangan disesali yang sudah terjadi. Yang terutama adalah bahwa simbok sudah sembuh. Apa yang terjadi sesudah ini, tidak akan membuat aku menyesal. Justru kalau tidak kulakukan itu semua dan membiarkan simbok, maka aku akan menyesal selamanya.”
“Tapi saiki piye (sekarang bagaimana)? Tidak kita miliki uang untuk menebusku, sementara membiarkan aku di sini justru akan makin menambah biaya tagihan rumah sakit.”