GARIS PEREMPUAN

Maysanie
Chapter #9

RANTING 7 : Kembara Pengingkaran

Ruangan itu wangi semerbak. Aroma bunga menguar dari segala penjuru ruang. Serumpun bunga lili putih menghias meja bulat di pojok ruangan. Mawar merah dan putih melati terangkai pada meja rias. Lalu irisan daun pandan berpadu bunga kenanga tertabur di bawah dipan. Masing-masing bunga menguarkan aroma harum yang melayang-layang merambah segala sudut ruang, melekat samar pada segala sesuatu yang ada di ruangan itu.

Di depan cermin rias seukuran 2 x 1 meter, Ranting mengamati pantulan bayang diri. Perasaan dirinya tak terjabarkan. Terpadu antara tidak percaya, takjub, bingung, kecewa dan terutama rasa ingin mengingkari bahwa itulah bayangannya. Tidak dikenalinya bayangan itu. Ingin dikatakannya pada diri sendiri, bahwa pantulan di cermin itu adalah seseorang yang lain, entah siapa, terserah. Siapa pun boleh mengaku menjadi bayangan itu, sepanjang bukan dirinya.

Tapi, siapa bisa mengingkari sebuah cermin? Bahkan ibu tiri sang Putri Salju, dengan seribu muslihatnya, tetap tak mampu meredam kesaksian sang cermin ajaib. Meski disembunyikan di hutan terjauh, dengan lapisan pohon-pohon liar yang berbaris rapat tak bercelah, kecantikan sang putri tetap terpantul pada cermin ajaib, yang tak hendak mengingkari kesejatian pantulan itu.

Begitupun Ranting. Meski tidak diakuinya pantulan bayang itu, tak bisa diingkarinya bahwa tiada orang lain di dalam ruangan itu selain dirinya. Cermin juga tidak pernah menyimpan bayangan, hanya memantulkan yang melintas padanya, meski sekilas. Sehingga tak mungkin itu adalah bayangan sisa orang lain.

Namun begitu, bagi Ranting, pantulan bayang pada cermin itu tetaplah seseorang yang lain. Seorang perempuan yang tidak dikenalnya, bahkan tidak pernah ditemuinya. Perempuan asing entah darimana datangnya.

Perempuan itu berkebaya warna emas, berbalut kain motif Sidomukti. Rambut bersanggul dengan suntingan kuntum melati. Bibir berpoles gincu merah basah. Bulu mata lentik melengkung. Kuku jari tangan dan kaki terpotong rapi, terpoles kutex warna merah muda berkilat. Beberapa gelang emas melingkari pergelangan tangan yang terbalut kulit warna kuning gading.

Perempuan itu ingat, sebulan terakhir ini seorang perempuan datang padanya secara rutin. Merawat dan menggosok seluruh tubuhnya dari ujung telapak kaki hingga helai rambut di kepala, dengan berbagai ramuan yang entah apa.

Setiap kali, selalu didengarnya perempuan itu bergumam.

“Kau sebenarnya cantik, tapi kulitmu kasar sekali. Tangan dan kakimu kapalan semua. Entah bagaimana tuan Basudewo menemukanmu.”

Lalu setiap kali selesai perawatan, dia akan berpesan dengan kesungguhan yang sangat, bahkan mungkin lebih mirip permohonan.

“Jangan lagi memegang peralatan dapur, atau mengerjakan pekerjaan kasar lainnya. Bahkan sekedar menyapu lantai pun jangan. Karena semua itu akan membuat upaya perawatanku sia-sia dan tuan Basudewo akan marah besar padaku. Sungguh, demi tuan besar, ingatlah pesanku.”

Atas pesan yang sungguh-sungguh itu, perempuan dalam pantulan cermin itu hanya mengangguk, tanpa perasaan. Walau tak bisa diingkarinya bahwa aroma yang menguar dari tubuhnya sesudah perawatan itu, sungguh sangat wangi. Serupa bunga yang dulu kerap dihirupnya semasa kanak-kanak. Tidak pernah aroma wangi serupa itu menguar dari tubuhnya sebelum ini. Karena selama ini yang mengaliri pori-pori tubuhnya adalah semata keringat, peluh yang terperas dari hasil bersepeda ider karak sepanjang jalan. Atau peluh karena panas kompor kala menggoreng karak. Aroma yang dimilikinya selama ini adalah paduan semerbak gurih karak, legit minyak goreng dan sesekali sangit nasi yang gosong berkerak.

Betapa berbeda dengan yang sekarang menguap dari dirinya. Dihirupnya nafas panjang, semerbak harum napas memenuhi seluruh rongga paru-parunya. Dipejamkannya mata, lalu dibiarkannya dirinya melayang entah ke mana gerak hati membawanya. Begitu ringan dirinya kini, barangkali serupa kapas yang melayang searus arah angin. Seperti helai daun yang melambai ringan seperti gerak sepasang sayap burung kala menyusuri udara bebas. Atau serupa sari bunga yang dicuri kupu-kupu dari gerumbul kelopak bunga dan dilarikan serangga bersayap cantik itu entah ke mana.

Dan harum diri itu seakan menjelmakan dirinya menjadi kuntum bunga yang tumbuh di tengah taman. Begitu lembut kelopak bunga itu, begitu cantik dispersi warnanya yang merona. Terbungkus aroma wangi yang semerbak.

Kuntum bunga yang begitu muda ….

Sesaat kemudian perempuan itu terjaga. Dan ditemukannya dirinya sebagai kuntum bunga muda itu. Disadarinya bahwa kemudaan bunga tidak pernah bertahan lama. Kemudaan bunga hanya dimiliki dan berlangsung dalam hitungan hari. Untuk kemudian layu, membusuk atau mengering sesudahnya.

 Maka para pedagang di pasar bunga seringkali menjadwalkan kedatangan bunga segar selalu pada hari jumat pagi. Karena akhir pekan, sabtu dan minggu adalah puncak permintaan bunga, banyak bunga dipergunakan untuk berbagai acara pada akhir pekan. Sesudah itu, ketika hari beranjak pada pekan yang baru, maka bunga-bunga yang tersisa hanya menunggu masa-masa awal kelayuannya.

Perempuan itu melihat refleksi dirinya serupa itu. Inilah masa akhir pekan baginya. Ketika kuntum bunganya mencapai puncak kemudaannya, dan seseorang telah siap untuk memetik, akan mempergunakannya sebagai penghias rumah barunya yang ke sekian.

“Ketiga,” kata Ranting pada dirinya sendiri, mengakhiri pengingkaran diri.

Kembali kakinya menjejak bumi, menghentikan perjalanan diri yang melayang dalam kembara pengingkaran.

“Aku sesudah upacara ini adalah istri ketiga, sesudah Masari dan Renjani.” kata Ranting lagi. “Para perempuan Basudewo, yang disahkan, entah berapa yang tak terdaftar dan menjadi sekedar perempuan bayangan.”

Lalu dihelanya nafas panjang. Terasa ada yang tersakiti pada dirinya, entah di bagian diri yang mana. Atau barangkali tersakiti seluruhnya.

Dok, dok, dok. Mendadak terdengar ketukan pada pintu. Ranting tersentak.

Lihat selengkapnya