Gendhing ‘Kodok Ngorek‘ berdentang nyaring, mengiring langkah lambat pengantin. Ranting menggerakkan kaki seiring gending itu, datar langkahnya, sedatar permadani yang dilaluinya untuk menuju pengantin pasangannya. Ah, barangkali sebutan pengantin terlalu romantik, kata pembeli atau pemilik dirinya adalah padanan kata yang lebih tepat untuk seseorang di ujung permadani itu. Basudewo.
Langkah Ranting terhenti di hadapan Basudewo. Penuntun pengantin berbisik padanya, menyampaikan sebuah instruksi. Tanpa bantahan sedikitpun Ranting menuruti instruksi itu. Ditekuknya lutut, bersimpuh untuk Basudewo. Seperangkat piranti upacara pengantin tergeletak di ujung kaki. Basudewo melepaskan kaki dari selopnya, dijulurkannya telapak kaki pada sebuah nampan berhias. Lalu tangan Ranting bergerak menuangkan segayung air bertabur kelopak mawar pada kaki itu, dibasahinya kaki itu dengan seksama. Kaki itu kemudian bergerak, menekan hingga pecah sebutir telur ayam yang tersedia pada nampan itu. Lendir telur melumuri jari-jari telapak kaki itu, memunculkan cairan yang lengket dan licin. Ranting kembali menuangkan segayung air bunga, menyingkirkan lendir yang melekat. Lembut gerak jemarinya kala membasuh. Tapi alangkah dingin perasaan yang terpancar dari segala gerak itu. Tanpa perasaan, serupa gerak robot tak bernyawa yang bergerak sesuai remote control yang memprogramnya. Juga ketika menyeka basah kaki itu dengan handuk pengering, meski lembut gerak itu serupa belaian, tetaplah tak tertutupi kekeringan rasa yang tampak jelas terbaca dari segala gerak itu.
Namun siapa hirau pada perasaan yang menguar pada pengantin perempuan itu? Yang mendapat perhatian utama hari itu adalah upacara itu sendiri. Bahwa segala persiapan yang dilakukan berhari-hari sebelumnya, adalah demi terlaksananya upacara hari itu dengan sempurna, tuntas paripurna. Bahwa hari itu telah terpilih dengan segala pertimbangan dan perhitungan yang cermat, dengan menelisik weton, tanggal dan hari lahir bahkan jam kelahiran sepasang pengantin yang kemudian diramu oleh seorang ahli untuk menentukan sebuah hari sebagai hari pelaksanaan upacara. Sebuah pilihan hari yang diyakini akan membawa segenap keberuntungan dan kemuliaan bagi sepasang pengantin yang melaksanakannya.
Bahwa kemudian ada berbagai perasaan tersakiti pada beberapa perempuan oleh karena pelaksanaan upacara itu, maka itu adalah soal lain. Perasaan para perempuan itu, Ranting, Simbok, Masari, Renjani, merupakan unsur yang tidak diperhitungkan oleh sang ahli.
Perasaan para perempuan berada di luar jangkauan perhitungan. Wilayah itu adalah daerah teritorial sang pengambil keputusan, pemilik wewenang tunggal: Basudewo. Dan sebagai pemilik kekuasaan absolut pada umumnya, maka keinginan adalah yang utama. Apa pun dilaksanakan demi pemenuhan sebuah keinginan. Betapapun pelaksanaan keinginan itu akan melibatkan bahkan mengorbankan perasaan berbagai pihak, maka hal-hal itu bisa dianggap sesuatu yang bisa atau layak dikesampingkan atau diabaikan.
Maka Ranting memilih mengenyahkan segala perasaan demi menjalani upacara itu. Membungkus hati, menyimpan atau membuangnya entah ke mana, agaknya adalah pilihan yang terbaik.
Ranting masih tak hendak menemukan hatinya ketika segala upacara itu berakhir. Ketika tamu terakhir pamit dan perjamuan telah usai, maka yang tersisa adalah ruang-ruang kosong dengan serpihan sampah perjamuan di sana-sini. Rangkaian janur kembang mayang menunggu saat kelayuannya esok hari. Permadani merah telah digulung menyimpan bekas injakan ratusan kaki yang harus dibersihkan dengan segera.
Tapi bagi Ranting perjamuan itu belum selesai. Lebih dari itu, bahkan harus dimulainya sebuah perjamuan baru. Perjamuan baru yang membuatnya ingin makin jauh melempar hatinya, membuang perasaan sejauh-jauhnya Sedemikian jauh bila mungkin, sehingga bila tak bisa kembali atau tak menemukan jalan pulang padanya, barangkali justru lebih baik.
Ranting berangan tentang sebuah rasa yang mati. Tak berdenyut, tak berdetak. Mungkinkah itu terjadi pada seseorang? Mematikan rasa sementara raga bernyawa. Bila mungkin, bagaimana caranya?
Raga bisa dibunuh dengan berbagai pilihan. Tikaman senjata tajam tepat menembus jantung. Atau menelan arsenik berkadar 3S (sigma-sigma-sigma), sama seperti yang disuguhkan sang eksekutor untuk Munir di perjalanan dan membuat sang pejuang HAM tereksekusi. Atau menghirup gas monooksida yang akan segera mengalmarhumkan seseorang dalam hitungan detik.
Tapi bagaimana membunuh rasa? Senjata setajam apa yang harus ditikamkan? Racun apa yang harus diteguk? Udara gas apa yang harus dihirup?