Ranting menemui Gendhing pada suatu ketika.
“Ada yang ingin kutanyakan,” katanya tanpa basa-basi.
Gendhing menjadi pilihannya bukan karena rasa solidaritas bahwa mereka berada pada kelas marjinal yang sama sejak belia, berbeda dengan Tawangsri dan Zhang Mey yang berada pada kelas yang tak setara. Dirinya anak bakul karak, Gendhing beribukan tukang cuci dan berayahkan tukang becak, sementara Bunda Tawangsri adalah pedagang besar batik dan keluarga Zhang Mey adalah juragan becak.
Bukan karena itu, karena persahabatan mereka tidak pernah terhalang oleh dinding-dinding pembatas itu - melainkan pertimbangan bahwa diperkirakannya Gendhing sebagai pekerja lebih berkompeten untuk menjawab informasi yang diperlukannya - daripada Tawangsri dan Zhang Mey yang mahasiswa.
Gendhing menatapnya, lurus.
“Tanya apa, sepertinya sangat serius?”
“Kau tahu berapa kira-kira tarip PSK?”
“Mau apa kau tanyakan itu?” Gendhing heran.
“Jawab saja dulu,” Ranting mendesak.
“Gendheng (gila), apa maumu?”
“Sudahlah, jawab saja!”
Gendhing masih dengan keterkejutannya, meneliti Ranting dengan seksama.
“Kau membuatku kawatir,” katanya menyimpan was-was “Ada apa?”
Ranting mengatur napasnya sesaat. Raut wajahnya datar, menyiratkan kegalauan sekaligus keteguhan yang berpadu sedemikian rupa.
“Aku tidak mau menjadi istri Basudewo selamanya. Terlalu murah hargaku kalau harus kuberikan seluruh hidupku padanya.” Katanya kemudian.
“Kau tidak punya pilihan lain ketika itu. Situasi Simbok dulu itu sangat darurat.”
“Namun aku tidak akan ingkar janji atau melarikan diri.”
“Tentu tidak. Basudewo tidak akan melepaskanmu begitu saja. Kemampuan apa yang kau miliki untuk ingkar? Pelarianmu bisa membuatnya marah, dan kemarahannya bisa membuat hidupmu lebih menderita daripada sebelumnya.”
“Karena itu harus kulakukan sesuatu, yang bisa melepaskanku dari ikatan ini tanpa harus mengkhianati dirinya ataupun janjiku sendiri.”