Bunda Masari, demikian perempuan paruh baya itu dipanggil. Baik oleh para penghuni di seluruh antero rumah besar itu ataupun oleh para penduduk di kampung itu.
Perempuan itu selalu berkebaya panjang dengan warna yang berpadu serasi dengan kain jarik yang dikenakannya. Rambutnya tak selalu bergelung, kadang-kadang lebih sering dijalin kepang, yang menampakkan panjang rambut yang menggapai pinggang. Seorang perempuan dengan pendar aura yang memancar tegas, cantik, meski tak tertutupi garis samar keriput wajah yang tak mampu menyembunyikan usia paruh baya yang dimilikinya.
Pagi itu Ranting menghadap padanya. Sebuah kunjungan silaturahmi dari seorang ‘madu’ baru pada sang Ibu Suri. Sebuah silaturahmi yang sesungguhnya tidak mudah dijalani oleh para perempuan atau mereka yang terlibat di dalamnya. Begitu kompleks ragam perasaan yang membuncah pada pertemuan itu. Bagaimanapun mereka adalah perempuan yang berbagi ruang pada hati seorang laki-laki.
Laki-laki cenderung merasa memiliki banyak ruang di dalam hatinya, sehingga seakan mudah bagi mereka untuk mengundang para perempuan masuk ke dalamnya. Para perempuan dengan ragam pertimbangan, seringkali mengijinkan dirinya untuk bergabung dalam ruang itu, meski sesudahnya akan terasakan betapa terbatas ruang yang tersedia untuk mereka.
“Ibumu sehat?” tanya Bunda Masari dengan nada yang sangat biasa.
Penguasaan diri yang sungguh tidak dimiliki banyak perempuan. Seakan Ranting adalah seorang yang biasa untuknya, dan bukan ‘madu’ baginya.
“Sampun sehat, Bunda, matur nuwun (sudah sehat, terimakasih),” jawab Ranting santun.
“Anggap aku mbakyumu, sekalipun aku lebih pantas jadi Ibumu.”
“Ya, Bunda.”
“Kita telah menjadi bagian dari sebuah keluarga. Mungkin akan diperlukan banyak toleransi untuk menjalaninya. Ini ibarat sebuah jalan raya, selama masing-masing berjalan sesuai jalurnya, pasti segala sesuatu berlangsung dengan baik. Tidak perlu terjadi tabrakan kalau kita tidak saling berebut jalan, atau merasa jalan itu milik kita sendiri dan merasa sebagai pemilik tunggal jalan itu.”
“Ya, Bunda,” Ranting mengangguk patuh.
“Apakah kau akan berjualan karak lagi?”
Ranting terdiam. Belum bisa ditentukannya sebuah jawaban. Ya, bagaimana dengan karak-karaknya dan para bakul langganannya? Sebuah jaringan yang telah terbentuk sekian lama hasil rintisan Simbok, haruskah ditinggalkannya begitu saja?
Bunda Masari juga diam, seakan menunggu Ranting menentukan pilihan jawabannya. Tapi ketika sejurus kemudian Ranting terlihat tak juga mampu menentukan pilihan itu, maka diberikannya pilihan.
“Tidak ada yang salah menjadi bakul karak. Itu pekerjaan halal. Kau dan ibumu serta para bakul lain melakukannya dan bertahan hidup dengan karak-karak itu.” Masari menghela napas, jeda sesaat “Tapi keberadaanmu sekarang, tidak memungkinkanmu untuk melakukan beberapa hal yang kau inginkan.”
“Pertimbanganmu sekarang tidak hanya sekedar mencari uang, justru itu tidak kau perlukan lagi karena keluarga besar ini akan mencukupimu. Lebih dari itu, yang kau emban saat ini adalah statusmu sebagai bagian dari keluarga Basudewo, yang akan memposisikanmu tidak layak lagi menjadi bakul karak.”
Ranting menunduk. Sudah diduganya pilihan itu.
“Bagi orang lain, ini barangkali justru anugerah. Munggah bale (naik derajat status) dan tidak perlu bersusah payah bekerja. Tapi tidak bagimu.”
Ranting terkejut. Tidak disangkanya Masari akan menduga itu. Seketika diangkatnya mata, bertemu tatap. Dan ditemukannya betapa mata itu menyimpan sesuatu untuknya. Semacam rasa welas tanpa merendahkan.
Bunda Masari mengangguk.
“Kupahami alasan kesediaanmu menjadi ‘madu’ku. Hal-hal yang membuatmu tidak punya pilihan lain,” katanya pelan. “Beginilah hidup. Bagian dari keterbatasanmu sebagai manusia, sebagai perempuan. Aku juga perempuan, dengan keterbatasan yang sama sepertimu.”
“Bunda,” Ranting tercekat. Terlihat jelas nada getir yang terpampang pada raut wajah Masari.
“Bukan hal mudah berada di posisiku, menerima Renjani, dirimu, lalu entah siapa lagi sesudah ini. Walau sekarang relatif lebih mudah. Yang tersulit adalah saat madu pertama, menyadari bahwa milikmu yang utuh harus dibagi. Tapi untuk yang berikutnya tak ada pengaruhnya lagi. Beginilah rasanya terbagi, mau dibagi tiga, lima atau sepuluh, sama saja. Yang terutama sekarang, bagaimana menerima pembagian itu dengan akur, tanpa perlu saling bersaing atau melukai.”