GARIS PEREMPUAN

Maysanie
Chapter #13

RANTING 11 : Perundungan Samar

Lewat setahun

Ranting terjaga pada sebuah dini hari. Ditemukannya dirinya dalam dekapan Basudewo. Dengkur halus mengalirkan napas yang teratur, menggerakkan naik turun denyut dada laki-laki itu.

Perlahan, dengan gerak yang minimal, Ranting melepaskan diri dari dekapan itu. Dengan gerak yang mengendap-endap, dibukanya buku catatannya. Dituliskannya angka penambah. Lalu, melalui cahaya remang dari lampu di sudut ruang terbacalah jumlah itu : 99.

 Ranting terhenyak. Nyaris berteriak. Sebuah jumlah yang memunculkan debar gemuruh pada jantungnya. Gemuruh oleh karena emosi yang bergejolak, reaksi dari sebuah penantian panjang yang akan mendekati masa akhirnya. Ranting gemetar. Didekapnya buku itu dengan perasaan yang tak terjelaskan. Ingin menangis, sekaligus pula tertawa sepuasnya.

“Apa yang kau lakukan?” mendadak sebuah tanya menghentikan euforia emosinya.

Ranting terkejut. Basudewo terbangun tak terduga. Seketika disembunyikannya buku catatannya, namun alangkah terbaca gerak yang tak mahir itu.

“Apa itu?” gerak yang gagap itu memancing keheranan Basudewo.

“Ini …eh, ini, bukan apa-apa,” Ranting menjawab gagap. Bahkan sangat gemetar. Ranting adalah seorang yang lugu, jujur, sama sekali tak mahir menipu dalam hal yang sepele sekalipun.

Sementara Basudewo terlalu banyak menelan garam tipu daya pada segala liku kehidupannya sehingga kewaspadaan adalah nadi yang selalu berdenyut pada tiap sel-sel tubuhnya. Maka gerak yang anomali, apa pun itu, akan selalu memancing refleks kewaspadaannya.

“Apa itu?”

Ranting bergerak mundur, mencoba menjauhkan diri dari jangkauan. Sebuah gerak yang keliru, karena justru menggerakkan urat-urat kecurigaan Basudewo.

“Kau menyembunyikan sesuatu!” katanya dengan tatap mata waspada.

“Tidak, tidak ada,” Ranting tak mampu memanipulasi keluguannya.

“Berikan padaku.”

Ranting menggeleng “Jangan.”

Basudewo mendekat. Tatap matanya tajam menangkap Ranting. Dia adalah seseorang dengan segala kekuasaan. Penolakan nyaris tidak pernah tersuguhkan untuknya, dalam bentuk apa pun juga. Maka ketika Ranting memberikan sebuah jawaban ‘jangan’ untuknya - sekalipun itu terucap dengan nada memohon terbungkus ketakutan - maka itu adalah suguhan yang terlalu berani, yang tentu tidak akan terkunyah begitu saja oleh seorang Basudewo.

Dengan sekali jangkauan yang menghentak, buku yang dilindungi Ranting berpindah tangan. Terebut sudah oleh Basudewo tanpa mampu Ranting mempertahankannya.

Ranting gemetar. Kekuatan tubuhnya luruh dan membuatnya meringkuk di sudut ruang. Seakan terperangkap pada jebakan ketakutan yang luar biasa. Basudewo menyalakan lampu dan membuka lembar buku itu, dengan seksama ditelitinya pencatatan itu.

“Apa maksudmu dengan catatan ini?” tanyanya dengan heran.

Ranting bergeming. Tak ada katapun yang tersedia di benaknya.

“Kau mendata setiap kedatanganku. Jelaskan!”

Ranting masih bergeming. Basudewo menatapnya lekat.

“Catatan itu kau buat bukannya tanpa maksud. Katakan!”

Ranting masih tak bereaksi.

“Ada sesuatu yang kau rencanakan.”

Ranting masih diam.

“Apa itu?”

Ranting tetap diam.

Basudewo menunggu. Tatap matanya tetap melekat pada Ranting. Alangkah beda tatap mata itu dengan sebelumnya. Dulu tatap melekat itu bagai membelai, serupa desir angin pagi hari. Kini tatap mata yang sama lebih banyak membawa waspada dan tanya yang mencari jawaban.

“Apakah kau ingin dipaksa?”ujar Basudewo kemudian memberikan alternatif sesudah Ranting tak juga menjawab.

“Aku bukan penyiksa perempuan. Bagi perempuan tanganku hanya membelai, bukan pemukul. Jadi jangan kuatir, katakan saja, kau ingin kupaksa dengan cara apa?”

Ranting bagai menggigil. Bukan oleh desir angin dini hari, melainkan oleh yang tersirat dalam kalimat itu. Begitu biasa kalimat itu, tapi alangkah mengancam.

“Kau perempuan lugu. Bahkan untuk bereaksi pada belaian laki-laki pun kau tak tahu. Jadi percuma kalau kau merencanakan sesuatu untukku, tanpa bisa kuatasi,” kata Basudewo datar, “Setahun lewat kau menjadi istriku, tentunya membuatmu paham bahwa membuatku marah adalah pilihan yang sangat terakhir.”

Bukan terakhir, sambung Ranting tanpa suara. Lebih dari itu, itu bukanlah pilihan yang layak dipilih. Barangkali lebih baik berhadapan pada sesuatu yang tanpa pilihan daripada harus memilih yang terakhir itu.

Lihat selengkapnya