Rumah yang disebut sebagai Rumah Kebun itu – karena berada di tengah-tengah kebun teh – berdinding bata merah berpadu dengan kusen-kusen kayu borneo pada pintu dan jendela. Ranting menyukai rumah itu. Mengunjungi rumah itu sekaligus diperolehnya dua hal yang berbeda. Dingin yang sejuk serta kehangatan yang menyenangkan.
Dingin yang sejuk itu diperolehnya dari beranda. Teras terbuka yang berhadapan dengan hamparan ladang teh itu mendapatkan tebaran angin dari segala penjuru. Dilengkapi dengan aroma daun teh yang melayang menaburkan keharuman khas yang samar serta bentangan warna hijau dari helai-helai daun teh, serupa samudra hijau tanpa batas. Kala angin bertiup agak keras, hamparan daun itu mengalun gerak seirama, serupa ombak bergelombang lembut di tepian pantai. Ranting senang menikmati desir angin hijau itu berlama-lama. Menyimpan kedamaian yang dibawanya, barangkali berguna untuk menenangkan hati suatu hari nanti.
Sedangkan kehangatan diperolehnya dari dalam rumah. Dinding bata merah yang tersusun rapi, terbuat dari batu bata yang sudah diekpose.
Tegak dinding itu menyaring desir angin dingin, sehingga tidak kesemua angin itu sempat menerobos masuk untuk membalutkan dingin pada segala sudut. Hanya beberapa desir yang lolos masuk, sehingga suhu ruang tetap terjaga kehangatannya tanpa harus terasa pengap. Ketika malam mulai larut dan dingin begitu pekat, maka Ranting menyimpan diri di dalam ruangan itu, ruang lebar dengan kursi-kursi kayu dilengkapi bantal-bantal mungil bersarung batik sogan.
Ranting jengah mendadak. Tak terhindarkan sebuah ingatan datang padanya. Malam itu, pada salah satu kursi di ruangan itu, Basudewo memeluknya, membawa dirinya pada pangkuan, membelainya……
“Ibu Ranting? Bade kepanggih (akan bertemu) Bapak?”sebuah sapaan mendadak menghentikan bayangan yang berkelebat pada ingatan Ranting.
Ranting terkejut, terhenti dari lamunannya dan ditemukannya diri berdiri tegak di ambang beranda rumah kebun. Sengaja dimintanya seorang sopir keluarga untuk mengantarkannya ke rumah kebun. Ada sesuatu yang harus diselesaikannya dengan Basudewo.
“Bapak di mana?” tanya Ranting dengan dada yang menyimpan debaran gemuruh. Ah sesungguhnya setiap jelang pertemuan dengan Basudewo selalu memunculkan debar gemuruh. Gemuruh yang dulu itu lebih banyak menyimpan takut dan enggan, namun sekarang debar gemuruh itu terasa berbeda. Debar yang aneh, bukan takut dan enggan, namun seperti menyimpan sesuatu yang tak pernah dimilikinya selama ini. Debar yang ajaib.
“Sepertinya sedang memancing,” Penjaga rumah yang sudah sepuh itu menjawab santun ” Silahkan Ibu menunggu di dalam.“
Ranting mengangguk. Lalu ditempatkannya diri duduk pada sebuah kursi, sembari menenangkan diri. Mengendalikan segala debar gemuruh yang memenuhi ruang-ruang benaknya.
Menjelang senja, muncullah detak-detak langkah yang menandakan kehadiran pemilik rumah, sosok yang ditunggu Ranting. Basudewo.
Sosok paruh bayanya yang tinggi, berdiri tegak di ambang pintu. Raut wajahnya menampakkan keterkejutan sesaat, hanya sesaat karena kemudian wajah itu kembali ke raut semula dengan cepat. Tatap matanya yang melekat pada sasaran pandangnya nampak dingin. Serupa datar air yang tak menampakkan buih gelombang.
Ranting berdiri, mengangguk santun menyampaikan salam. Debar dadanya makin gemuruh.
“Sudah bertemu pengacara?” tanya Basudewo sembari membenahi peralatan pancingnya.
“Sampun (sudah),” Ranting mengangguk sembari kembali duduk.