Gendhing membentangkan koran pagi.
Lembar khusus halaman iklan terbentang melebar memaparkan ribuan huruf yang berjajar dan berderet rapi. Satu persatu Gendhing meneliti barisan huruf-huruf itu, sembari menyimpan harapan dalam benak, barangkali akan ditemukannya sesuatu yang diperlukannya.
Tapi barisan huruf itu seakan hanya menaburkan harapan semu. Hingga baris terakhir terbaca, tak ada satu pun yang bisa disimpannya sebagai pengharapan. Betapa tidak, paparan iklan yang menawarkan lowongan pekerjaan itu hampir semuanya menyertakan syarat-syarat dengan kualifikasi yang sama sekali tidak dimilikinya.
Kualifikasi itu adalah pengalaman bekerja, latar belakang pendidikan berjenjang tinggi, minimal D sekian, kemahiran berbahasa asing entah bahasa Inggris atau Mandarin, lisan dan tulisan. Itu persyaratan dasar, beberapa yang lainnya bahkan menambahkan syarat lain berupa penampilan yang menarik, mempunyai kendaraan sendiri, agresif, berinisiatif, mampu bekerjasama dalam team bla-bla-bla…
Lalu Gendhing melipat koran itu, juga melipat harapan semunya, yang senantiasa muncul kembali setiap pagi, bersamaan dengan datangnya koran pagi.
Gendhing tidak tahu bagaimana harapan itu selalu muncul setiap hari bersamaan dengan datangnya koran itu. Bukan koran baru sesungguhnya, melainkan koran basi yang telah lewat satu hari sejak terbitnya. Akhir-akhir ini bapak mendapat tambahan pekerjaan sebagai loper koran pagi. Subuh, sebelum menjalankan tugas utamanya sebagai penarik becak, bapak mengantarkan koran pada para pelanggan di sekitar perumahan dekat kampung mereka tinggal. Koran basi yang tak laku, boleh dibawa pulang oleh bapak. Lumayan sebagai bahan bacaan, penambah informasi. Namun sesungguhnya ibu yang paling antusias dengan koran basi itu, karena sesudah terkumpul sekian tumpuk, bisa dijualnya pada pedagang keliling penampung barang bekas.
Bapak selalu meletakkan koran itu pada meja di ruang depan, setelah membacanya sekilas sembari menghirup teh hangat dan sarapan. Setiap pagi serupa itu pula Gendhing merasakan harapan yang meletup samar di benaknya. Barangkali seperti inilah representasi dan penafsiran dari sebuah kata mutiara yang dibacanya pada album kenangan yang dibuat seorang teman sesaat sebelum mereka menyelesaikan ujian nasional bulan lalu.
Sebaris kata mutiara itu adalah : “ Sun rise and fall, fame comes and goes, but dreams live forever….” Matahari terbit dan tenggelam, kemashyuran datang dan pergi, tapi mimpi hidup selamanya.
Gendhing mendadak menemukan refleksi kata mutiara itu pada dirinya. Betapa harapannya terbit setiap hari, meski kemudian pudar sesudah barisan iklan koran itu tak menyajikan apa yang dicarinya. Tapi harapan yang sama muncul kembali esok hari. Sungguh serupa matahari, tak pernah jera menerbitkan diri setiap pagi.
Lalu Gendhing menemukan ironi itu. Selayaknya sesudah menyelesaikan jenjang pendidikan SMAnya, maka semestinya yang dicarinya adalah kolom iklan perguruan tinggi, sehingga bisa ditemukannya universitas untuk melanjutkan pendidikannya pada jenjang yang lebih tinggi. Menjadi mahasiswa, untuk kemudian mendapatkan gelar sarjana suatu hari nanti. Tentu bukan hanya kebanggaan yang diperoleh diri dan keluarganya atas gelar itu, melainkan juga apresiasi, penghargaan dari lingkungan sekitar.
Lebih dari itu akan diperolehnya peluang kerja terbaik, yang dengan sendirinya mengalirkan rupiah sebagai kompensasi pada saku uangnya, yang pasti akan sangat bermanfaat untuk melancarkan arus kas pada kondisi ekonomi keluarganya. Sehingga ibu tidak perlu lagi menjadi pencuci baju di rumah para pelanggannya, dan bapak tidak perlu lagi berpeluh mengayuh becak.
Semestinya begitu. Nyatanya itu semua bagai bayangan yang terpantul pada dataran air. Begitu terpecah dataran air itu oleh sebuah gerak yang memunculkan riak, maka pantul bayangan itu akan goyah, dan kehilangan ketepatan refleksinya. Itu yang terjadi pada Gendhing. Bayang-bayang dirinya sebagai mahasiswa adalah serupa pantulan di datar air itu, retak dan goyah oleh riak-riak kenyataan.
Menjadi mahasiswa di jaman sekarang bukan hal mudah. Ketidakmudahan itu bagi Gendhing bukanlah karena kecerdasannya yang terbatas — sesungguhnya Gendhing bahkan lebih dari cerdas dari teman-temannya — kemampuan akademik mereka terdukung oleh les-les tambahan dari guru-guru yang didatangkan khusus oleh orang tua mereka dengan biaya tertentu. Sementara Gendhing, dengan kemampuan dan keterbatasannya belajar mandiri, mendapatkan nilai yang setara dengan mereka yang terdukung les tambahan.
Gendhing tersenyum samar.
“Tak apa,” katanya pada diri sendiri, “Telah terjadi padaku pudar bayangan itu sejak dahulu kala, ketika usia begitu dini. Dan tetap bisa kujalani hidup hingga hari ini, maka sampai kapan pun akan tetap kupunya kekuatan untuk melaluinya. Serupa matahari terbit setiap pagi.“