Yu Rah mencabut kabel listrik setrika dari stop kontak. Tugasnya melicinkan baju-baju yang kusut karena tercuci sudah selesai hari ini. Setumpuk baju yang terlipat rapi disusunnya pada meja setrika.
“Wis rampung Yu?” tanya Ming, pemilik rumah dan baju-baju itu yang melintas dari ruang tengah.
“Ya, ini baru saja rampung. Walah, baju kotornya tuan juragan banyak sekali, keringatku sampai bercucuran,” keluh yu Rah lepas tanpa nada mengeluh yang nyinyir.
“Bagaimana tidak banyak, lha ke luar kota sepuluh hari tanpa mencucikan baju.” tukas Ming menanggapi keluhan.
“Apa tidak ketemu tukang cuci selama di sana?”
“Ada. Tapi cuci baju di hotel mahal banget, namanya laundry.”
“Seberapa mahalnya? Pasti bersih tenan, apa bisa membuat baju lama seperti baru?”
“Kalau seperti baru ya tak mungkin, itu iklan sabun cuci. Nanti bisa membuat toko baju tidak laku.”
“Tapi mahal. Jadi apa istimewanya?”
“Mahal bukan jaminan. Belum tentu sebersih cucianmu. Hanya saja memang wangi tenan.”
“Kalau membuat wangi gampang, nanti kuberi saja pelembut yang banyak, biar wangi banget.”
“Jangan, tidak perlu” tolak Ming. “Baju laki-laki jangan dibuat terlalu harum, nanti kalau tertempel parfumnya perempuan lain justru tidak akan ketahuan.”
“Oh, begitu ya?” Yu Rah terbelalak. “Kau sudah secantik ini, mana mungkin suamimu masih bisa tergoda pada perempuan lain?”
“Cantik saja tidak selalu cukup. Seringkali persoalannya bukan soal cantik atau tidak tapi lebih pada kebutuhan terhadap variasi. Istri cantik bagi suami bisa jadi serupa sepiring bistik. Memang enak, tapi kalau yang terhidang bistik terus ya bosen juga, maka bisa jadi gado-gado atau pecel akan menjadi selingan yang menyegarkan.”
“Ndilalahnya (kebetulan), selalu ada saja perempuan yang tidak peduli dengan status suami para lelaki itu.”
“Nah itu dia, seolah wadah yang mendapatkan tutup di mana-mana.”
“Kalau bagiku kubuat gampang saja, selama masih pulang tiap hari, menyediakan uang, beras dan uang sekolah Gendhing, wis cukup, tetap kuanggap kepala keluarga,” sahut yu Rah ringan.
“Kalau cuma itu ya ora cukup, harus dilengkapi dengan deposito di bank, mobil, rumah bagus, asuransi,” tambah Ming.
Yu Rah tertawa “Itu kan dirimu, Cik. Punya modal untuk alasan mengajukan tuntutan. Dirimu cantik, mulus, sugih dan pintar untuk meminta semua itu. Suamiku hanya tukang becak, tak ada yang bisa kuminta darinya selain kesetiaan. Itu wis cukup.”
“Baguslah kalau kau bisa nrimo begitu, karena ketidak puasan justru memancing rasa tidak bahagia. Masalah cukup itu relatif, apa yang cukup bagiku belum tentu sama cukupnya dengan orang lain,” Ming tersenyum lunak. “Orang lain bisa jadi menuduhku sebagai perempuan serakah, dengan fasilitas dari suami yang berkecukupan, masih saja kubuka usaha salon kecantikan. Mau saja repot ngurusi rambut dan riasan pelanggan. Sementara sebaliknya aku bisa membayar berapapun tarip perias untukku. Tapi bagiku usaha ini bukan semata soal uang, tapi lebih pada perasaan untuk tidak merasa diabaikan atau disepelekan karena secara ekonomi tergantung pada suami.”
“Iyalah, bagimu salon ini sekedar sambilan, daripada nganggur thingak-thinguk (bengong) di rumah. Beda denganku. Bekerja itu keharusan, atau tidak akan bisa menanak nasi tiga kali sehari. Uang becak hasil bapaknya Gendhing tidak pernah cukup.”
“Kau sih, makannya banyak banget,” Ming menanggapi dengan canda. “Nasi pecel sepiring tidak cukup, nambah terus jadi harus memasak nasi berkali-kali.”
“Lha piye, harus kucuci baju di enam rumah, itu perlu tenaga ekstra,” bantah yu Rah membela diri. “Nasi sepiring tidak cukup mengenyangkan, belum bisa memunculkan tenaga.”
Ming terbahak. Kolaborasinya dengan yu Rah, dalam arti memperkerjakannya sebagai buruh cuci baginya sudah berjalan sekian lama. Meskipun sekarang sudah mampu digajinya sekian pembantu di rumah, tapi tetap dipertahankannya yu Rah sebagai pencuci bajunya. Itu lebih sebagai keinginannya mempertahankan seseorang yang dianggapnya tidak hanya sebatas tenaga upahan, tapi lebih sebagai seorang teman sekaligus relasi yang bisa dipercaya untuk merapikan koleksi busananya. Meski sebenarnya bisa dibinanya orang lain untuk melakukan itu. Apa yang terjadi di antara mereka, tidak seperti majikan dan pembantu, atau juragan dengan buruh. Tidak mengarah vertikal melainkan lebih terkesan sebagai sesuatu yang horizontal.
“Yo wis, itu di meja ada nasi liwet 2 bungkus, kubeli pas sarapan. Kalau tidak mampu membuatmu kekenyangan, ya kebangetan.”
“Tidak kekenyangan, tapi kenyang biasa.”
Ming makin terbahak “Makanya kau tidak pernah kurus meski kerja seberat itu, dari dulu badanmu ginak-ginuk(gemuk montok).”
“Ben (biar), nanti kalau kurus, malah bisa dikuntit anjing, dikira tengkleng (makanan sejenis gulai yang terdiri dari tulang-tulang kambing),” sergah yu Rah sembari mulai menyantap nasi liwetnya. “Oya cik, nanti aku minta korannya ya?”
Ambil saja, sudah numpuk di gudang. Kemarin ditawar pemulung, tapi kok harganya murah banget, ya tidak jadi kujual, biar untukmu saja.”
“Harga koran bekas yo segitu itu. Tapi yang kuminta bukan cuma koran bekas, aku perlu yang baru.”