GARIS PEREMPUAN

Maysanie
Chapter #17

GENDHING 3 : Kapitalisasi, Standarisasi Kecantikan dan Kelihaian Paruh Baya

Salon kecantikan serupa bengkel bagi kendaraan. Mereka yang masuk ke dalamnya menyerahkan diri untuk diproses, dalam arti dirubah menjadi seseorang yang lebih baik secara penampilan. Yang lebih baik itu adalah identik dengan lebih cantik, lebih menarik berdasarkan standarisasi tertentu.

Dengan bekerja di sana, Gendhing menjadi bagian di dalamnya. Gendhing melihat betapa kecantikan bagi perempuan adalah nafas, seperti oksigen yang harus mereka hirup untuk membuat jantung tetap berdenyut dan sel-sel tubuh tumbuh. Kecantikan bagi perempuan adalah keharusan.

Apa yang disebut cantik adalah sebuah kategori yang terstandarisasi. Ketika sebuah produk - yang diyakini mampu mendukung kecantikan, di mana produk itu adalah karya massal industri - diluncurkan, maka sebuah strategi bisnis yang merupakan bagian dari kapitalisasi, akan membentuk suatu konstruksi pemahaman makna yang disebut sebagai cantik.

Seorang perempuan yang terpilih akan diposisikan sebagai ikon dan menjadikan kondisi raganya, apakah itu wajah, kulit, bentuk tubuh, model rambut dan ornamen lain yang dimilikinya, sebagai dimensi tunggal lambang kecantikan. Strategi bisnis akan menanamkan pengaruh bahwa citra serupa ikon itu akan bisa diperoleh dengan produk yang mereka produksi. Perempuan, dalam arti konsumen yang menjadi target group akan diyakinkan bahwa pemakaian dan aplikasi produk yang ditawarkan akan membuat mereka serupa model yang didimensikan tersebut.

 Kondisi raga seorang ikon akan dieksploitasi sedemikian rupa hingga model ini akan menjadi sebuah standar dan menjebak masyarakat pada situasi pseudo consciousnes, kesadaran semu, yaitu situasi di mana harga diri terbentuk berdasarkan standarisasi yang muncul dari lingkungan sekitar. Standarisasi ini seringkali mampu memanipulasi seseorang sedemikian rupa hingga membentuk struktur kerangka pikir untuk sungguh percaya dan meyakini sepenuhnya standar itu. Lebih jauh standarisasi ini akan menjauhkan keyakinan diri sendiri.

Hal ini yang menjadikan perempuan memiliki keseragaman keinginan untuk menjadikan raganya serupa model yang dieksploitasi, hingga dengan demikian akan menjadikan perempuan tidak sebagai dirinya sendiri. Maka banyak orang-orang dengan penampilan serupa, yang bagi mereka itu adalah bagian dari trend, kecenderungan gaya hidup yang menunjukkan aktualisasi terhadap perubahan dan kemajuan jaman. Itu pemahaman mereka, tanpa sadar bahwa sesungguhnya mereka sedang dipengaruhi.

Hal ini nampak jelas pada para tamu yang menjadi pelanggan salon, yang terus datang sebagai proses usaha untuk menjadikan dirinya mencapai taraf kecantikan yang di standarisasi itu. Mereka merelakan dirinya diproses sedemikian rupa, yang seringkali memunculkan rasa sakit untuk mendapatkan kecantikan yang mereka inginkan.

Merelakan rambutnya ditekan dengan logam panas bersuhu sekian derajat, yang mampu melepuhkan kulit demi mendapatkan rambut lurus serupa rambut model iklan shampo. Tanpa peduli bahwa bisa jadi rambut sang model yang tampak di media massa itu adalah hasil rekayasa teknologi fotografi digital. Tanpa peduli betapa tersiksanya helai-helai rambut mereka tertindas logam panas demi sebuah pelurusan, tanpa peduli betapa helai-helai rambut itu akan kering kerontang sesudahnya.

 Untuk mendapatkan penampilan sempurna lainnya maka para perempuan yang datang ke salon akan merelakan wajahnya dipoles dengan apa saja, entah seberapa tebal krim-krim pemulas itu menutup pori-pori kulit. Sepanjang mereka anggap polesan itu mampu menutupi faktor negatif pengurang tampilan cantik, mereka akan mandah saja.

 Itulah yang harus dipelajari oleh Gendhing. Gendhing membekali diri dengan kemampuan memainkan warna pada wajah para perempuan dan aneka trik polesan lainnya, demi menjadikan para perempuan sebagai seseorang dengan penampilan berbeda, mewujudkan mereka sebagai sosok yang lain.

 Mereka bukan lagi sebagaimana mereka adanya, melainkan mereka dalam penjelmaan impian. Mereka sebagai sosok yang memenuhi standarisasi untuk dianggap cantik. Begitulah, para perempuan akan selalu terpengaruh untuk memperagakan konstruksi dari standarisasi yang telah ditentukan oleh sekelompok golongan atau pihak tertentu —bisa jadi kaum kapitalis yang mendapatkan keuntungan dari situasi itu—meskipun standarisasi tersebut tidak jelas relevansinya dengan kepentingan pribadi para perempuan.

Sementara sesungguhnya cantik adalah sesuatu yang relatif, bersifat sangat individual. Apa yang menurut seseorang cantik, belum tentu memiliki konsep cantik yang serupa pada penglihatan orang lain. Masing-masing mata memiliki konsep individual dalam memaknai sebuah kecantikan. Tidak akan pernah ada parameter khusus untuk menetapkan kriteria cantik, karena kecantikan tidak bisa diukur berdasarkan standarisasi yang diberlakukan oleh golongan tertentu, apalagi bila kelompok tertentu itu memiliki kepentingan ekonomi terhadap standarisasi tersebut.

Maka Ming sebagai seorang pemain dalam bidang kecantikan—seseorang yang mempunyai keahlian memainkan warna dan bergerak di bidang jasa untuk memenuhi keinginan mereka menjadi cantik—akan memilih sebuah garis aman, yaitu mencoba memahami setiap keinginan dan menerima setiap konsep individual. Dengan keahliannya, dipenuhinya keinginan tiap tamu untuk menjadi ‘seperti’ kecantikan orang lain yang diinginkannya.

Tamu semacam itu tidak pernah berhenti. Selalu ada yang datang untuk dirubah menjadi seseorang yang lain.

Waktu berjalan membawa Gendhing menyusuri proses belajarnya, dan perlahan Gendhing mulai mendapatkan tamu-tamu yang memilihnya.

*

Suatu hari datang seorang tamu laki-laki.

Ming sangat membatasi pelayanan kepada pelanggan laki-laki. Hanya beberapa laki-laki, dengan beberapa alasan diterimanya sebagai tamu. Misalnya karena laki-laki tersebut memiliki keterkaitan khusus dengan dirinya atau suaminya. Laki-laki asing yang sama sekali tidak dikenalnya akan ditolaknya dengan berbagai alasan lunak tapi jelas mengisyaratkan penolakan.

Ketika tamu itu datang, kebetulan Gendhing sedang tidak melakukan kesibukan apapun, maka dengan sendirinya menjadi tugas Gendhing untuk menyambut tamu itu.

“Selamat siang, mencari cik Ming?” sambut Gendhing.

Itu pertanyaan standar untuk tamu laki-laki, lebih sebagai penyaring untuk mendeteksi apakah dia seseorang yang sudah dikenal atau tamu asing.

“Tidak, aku cuma mau semir rambut seperti biasa, ubanku sudah terlihat semua.”

“Baik, silahkan.”

Lihat selengkapnya