Benar, godaan itu mulai menghampiri Gendhing. Sesamar gerak ular yang melata tanpa suara kala menggiring Hawa mendekati pohon buah terlarang, begitulah godaan datang merayap. Menghampiri tanpa suara, menebarkan pengaruh tanpa gerak.
Suatu hari salon tutup lebih awal. Ming sedang menghelat acara keluarga sehingga menutup salon lebih dini supaya perhelatannya tidak terganggu oleh kedatangan para pelanggan.
Gendhing ingin memanfaatkan peluang waktu itu dengan menikmati senja di tepian tanggul kali dekat lapangan. Sudah lama tidak dirasakannya suasana dan bias cahaya matahari ketika terbenam. Biasanya banyak orang berkumpul di sana melepas matahari tenggelam. Sebagian lainnya menikmati adu sepak bola antar kampung.
Bila musim angin, banyak layang-layang diterbangkan, beraneka bentuk dan warna layang-layang itu. Serupa noktah ceceran warna yang menghias langit biru atau jingga menjelang senja. Bagi Gendhing, yang dicarinya adalah aroma rumput yang khas. Sejak dulu selalu disukainya aroma rumput itu. Semacam aroma yang nglangut, melarutkan sunyi dalam benak dan memunculkan rasa yang tak terjelaskan.
Pada salah satu tepian tanggul ada serumpun perdu yang menumbuhkan bunga-bunga liar. Seringkali banyak kupu-kupu beterbangan di sekitar perdu itu. Gerak kupu-kupu itu, dengan kepak sayapnya yang rapuh, bagi Gendhing seakan menaburkan harum yang tak biasa. Selalu disukainya paduan itu, aroma rumput, harum bunga perdu dan kepak sayap kupu-kupu. Paduan yang hanya muncul di saat-saat menjelang senja, yang tidak selalu bisa dimilikinya. Hari itu Gendhing menikmati senjanya.
Didudukkannya diri di rerumputan tanggul. Meluruskan kaki, melemaskan urat yang menegang di sepanjang betis karena berdiri seharian. Angin semilir membelaikan sejuk pada setiap kulit yang terterpa.
Matahari senja terbenam separuh, dispersi cahayanya memunculkan warna semburat jingga dan merah pada permukaan langit. Pantulan warna yang barangkali tak akan selalu bisa direkonstruksi para pelukis pada bidang kanvas. Bahkan langit yang sama tak pernah menyajikan semburat warna yang serupa. Masing-masing senja selalu memancarkan dispersi warnanya sendiri setiap hari.
Lalu Gendhing menemukan dirinya dalam senja itu. Berbalut rasa angin yang mengalir tipis, dalam tebaran aroma rumput yang mengapung tanpa suara. Berjarak beberapa meter, pada dataran tanggul yang lain, berkerumun banyak orang berbagi senja yang sama tanpa harus berebut.
Masa senja, periode waktu saat matahari mulai tenggelam hingga tuntas selalu terbatas, terjadi dalam menit yang pendek, tapi senja itu tak terbatas untuk dibagi. Setiap orang akan menjadi bagian senja itu dan menyimpan keping senjanya sendiri, entah untuk disimpan atau diletakkan di manapun.
Lalu Gendhing menemukan dirinya pada sebuah senja di masa lalu. Kala itu kalau bapak pulang lebih dini maka Gendhing kecil bersama teman-teman kecilnya Ranting, Tawangsri dan Zhang Mey akan melompat ke dalam becak, lalu duduk berpangkuan pada jok becak yang sempit. Bapak akan mengayuh becak ke lapangan di tepian stasiun kereta api. Mereka bermain di sana, sembari menunggu senja dan kereta api datang. Ketika saatnya tiba, di kejauhan, menyembul dari balik semburat awan jingga di belahan barat, lokomotifnya serta irama jas-jus kereta api.
Bersama anak-anak lain mereka akan bersorak-sorak, paduan gembira dan berdebar, yang makin mendebar ketika kereta makin mendekat. Bahkan sama mendebarkannya kala menunggu pacar pertama datang.
Sebuah senja pada masa silam. Ketika sarana hiburan begitu terbatas, maka menunggu kedatangan kereta api di saat senja adalah ritual rekreasi yang mengesankan.
Di masa kini ritual menunggu kereta di saat senja masih banyak dilakukan. Tapi ritual itu terjadi bukan karena terbatasnya sarana rekreasi, melainkan karena keterbatasan kemampuan finansial untuk mengaksesnya. Jadilah kaum marjinal melakoni ritual lama itu, berbagi senja yang dibawa kereta senja, yang bisa diakses tanpa biaya. Keping-keping senja terbagi cuma-cuma bagi setiap orang yang hendak menyimpannya.
Gendhing tersenyum. Keping-keping senja tersimpan rapi dalam ingatannya. Setiap keping menyimpan senja yang berbeda. Keping senja bersama temannya adalah cerita tentang penantian kereta api. Keping senja bersama bapak berisi uro-uro di antara kayuhan pedal becak menyusuri jalan menuju rumah. Keping senja bersama ibu berisi setumpuk pakaian kotor yang harus dicuci di sumur, sesegera mungkin sebelum senja jatuh menjadi malam.
Sekarang Gendhing sendirian dengan keping senjanya. Berisi tebaran kepak sayap kupu-kupu, memunculkan rasa angin yang samar berpadu aroma harum bunga perdu yang tertinggal menyisakan kenangan bagi yang peduli untuk menyimpannya.
Sendirian? Agaknya tidak. Seseorang datang menghampiri menghentikan kesendirian itu.
“Gendhing!” panggil suara itu mendekat. Lalu begitu saja pemilik suara itu mendudukkan diri di dataran rumput di samping Gendhing.
“Bolehkah kutemani?”
Gendhing terkejut. “ Pak Indragiri,” serunya nyaris terperangah.
Nyaris tak percaya ditatapnya laki-laki itu tanpa kedip. Betapa tidak? Seorang Indragiri, berada di tanggul ini? Gerangan apa yang dilakukannya, mungkinkah hendak berbagi keping senja? Senja memang universal, setiap orang tanpa peduli jender, ras, agama dan kelompok sosial ataupun golongan politiknya berhak mengakses senja, tapi senja di lapangan, tanggul atau tepian rel kereta adalah senja kaum marjinal.
Untuk orang selevel Indragiri, maka senja yang layak baginya adalah senja dengan remang cahaya lilin di sebuah kafe. Atau senja bersemilir angin pantai pada sebuah resort. Dengan limpahan kudapan dan minuman. Entah brownies, tiramisu, wine, brandy atau es kelapa muda lengkap dengan gelasnya yang berhias merah kembang sepatu dan payung mini. Sungguh bukan senja marjinal seperti sekarang ini.
“Apa yang Bapak lakukan di sini?” Gendhing masih terkejut.
Indragiri tersenyum, menatapnya lembut. Mata itu sungguh menyimpan kelembutan yang tak terpungkiri.
“Memperhatikanmu.”
Gendhing berpaling, menghindarkan diri dari tatapan itu, yang meskipun lembut tapi memunculkan rasa jengah. Entah mengapa, kehadiran laki-laki itu menumbuhkan rasa tak patut yang tak terjelaskan.
Darimana rasa tak patut itu bermuara? Mungkinkah karena kesukuannya yang? Atau karena usianya yang paruh baya? Atau karena statusnya sebagai suami seseorang?
“Aku kebetulan lewat tadi, kulihat kau duduk sendirian, kukira sedang menunggu seseorang. Tapi beberapa lama kau tetap sendirian, membuatku ingin menemanimu.”
“Oh, terimakasih, sekarang saya harus pulang, hampir malam,” Gendhing beranjak bangkit. Rasa ketidakpatutan itu membuatnya bergegas.
“Tinggalah sesaat lagi,” Indragiri mencegahnya dengan mata memohon, “Senja belum selesai, cahaya matahari belum seluruhnya pudar. Lihat, masih tersisa sebagian.”
Mata Gendhing mengarah ke barat. Benar, senja belum selesai. Ujung bulatan matahari masih tersisa sebagian. Sesungguhnya Gendhing tidak pernah tak menyelesaikan senjanya. Tapi sekarang, dengan rasa tak patut yang menyebar ini, haruskah dituntaskannya senja itu?
Gendhing duduk lagi, kembali mentuntaskan perjalanan senjanya. Sesungguhnya senja atau tatap mata Indragiri yang memerangkapnya untuk kembali? Gendhing tak tahu.
“Sering menikmati senja seperti ini?”
“Ya, ini hiburan murah meriah namun indah untuk kami kaum tak berpunya.”
“Siapa bilang? Senja selalu indah bagi siapa saja, tapi hanya beberapa orang yang bisa menghayatinya.”
“Begitukah?”
“Mereka adalah orang-orang sepertimu, yang halus dan lembut hati.”
“Saya lembut?” Gendhing tertawa, “Itu sungguh keliru.”
“Pasti tidak, caramu merawat rambutku menunjukkan kelembutan itu.”