GARIS PEREMPUAN

Maysanie
Chapter #20

GENDHING 6 : Laura dan Kesetiaan Ibu

“Aih, aih, yang semalam bermalam panjang,” goda Laura mencolek Gendhing ketika mereka istirahat makan siang. Suara maskulinnya yang kenes sangat kemayu.

“Siapa yang) bermalam panjang, kan belum malam minggu?” bantah Gendhing.

“Bagi mereka yang kasmaran, setiap malam adalah malam panjang, tidak peduli malam minggu atau malam jumat kliwon.”

“Memangnya siapa yang kasmaran, jomblo begini.”

“Jangan berkelit,” Laura mengerling, tetap dengan gerak kemayu yang khas menunjukkan transgender-nya. “Aku melihatmu keluar dari cineplex semalam, dengan pak Indragiri.”

Gendhing tercengang. Dengan segera telunjuknya menyilang di garis bibir, mengisyaratkan sebuah gerakan tutup mulut.

“Ssst,”

“Tenang, aku bukan ember, tapi harus ada biaya tutup mulut.”

“Ya, nanti kubelikan plester lakban satu kontainer, pasti cukup untuk memplester mulutmu dari ujung ke ujung.”

Laura terbahak “Tidak perlu satu kontainer, malah repot cari gudang untuk menyimpannya. Satu meter sudah cukup, yang satu kontainer itu bedak atau shampo saja, supaya bisa kupakai untuk pupuran dan keramas tujuh turunan.”

“Wong edan.”

“Bisa juga kugunakan sebagai modal awal untuk menjadi distributor kosmetik. Benar, itu saja Ndhing, biaya tutup mulutku. Shampo dan bedak, kalau akan kau tambahi kosmetik lainnya, boleh saja, akan kuanggap sebagai bonus.”

“Aish,” umpat Gendhing.

Laura terbahak. Suara kenesnya tertelan oleh nada tawanya yang maskulin.

“Aku yakin pak Indragiri suka padamu,” bisik Laura kemudian dengan serius.

“Ngawur aja,” Gendhing melotot “Dia sudah berkeluarga."

“Tapi dia bisa menjadi jembatanmu, selayaknya dimanfaatkan.”

“Hus.”

“Ini sungguh. Beruntunglah dirimu dengan segala yang kau punya. Tidak seperti aku,” Laura berhenti sesaat, bernapas dalam. Terasa berat suara napas itu. terlihat jelas berasal dari sesuatu yang tertindih.

“Aku selalu berangan tentang kedatangan seseorang yang akan melepaskanku dari segala beban. Tapi agaknya itu akan menjadi utopia belaka. Agaknya tidak akan pernah ada seseorang itu, yang mendatangiku seperti pak Indragiri memilihmu.”

Gendhing tercekat, tidak menyangka Laura menjadi sedemikian rapuh dan menyimpan sesuatu yang pedih di antara kelucuan dan kegenitannya selama ini.

“Kupilih nama Laura bukannya tanpa arti, bukan hanya karena itu merupakan nama yang mengesankan perempuan. Namun sesungguhnya lebih bermakna sebagai keadaanku sebenarnya, akronim dari lanang ora wedok yo ora (laki-laki bukan, bukan pula perempuan). Agaknya harus kuterima keadaanku yang ‘berbeda’, yang secara genetis lahir dengan pembawaan seperti ini, sebagai sifat transmisi genetis dari gen, maka itu adalah takdir yang tak terhindarkan bagiku. Mungkinkah kuanggap ini semacam kejahatan takdir padaku?”

Gendhing terdiam, tak ditemukannya sebuah kalimat yang layak sebagai jawaban. Memang terlihat nyata bahwa orang-orang sejenis Laura, yang digolongkan sebagai waria, adalah kelompok yang dimarjinalkan oleh masyarakat dan secara sistematis terbatasi haknya untuk menjalani karier di berbagai sektor. Adalah mustahil bagi waria untuk mengakses posisi karir dengan leluasa pada bidang yang diinginkannya karena mereka dianggap tidak normal. Lebih parah lagi, bagi sebagian orang, mereka dianggap amoral dan digeneralisir bahwa lingkungan sosial mereka identik dengan penyimpangan seksual yang diharamkan, tanpa mau mempertimbangkan bahwa secara genetis mereka memang terlahir berbeda.

“Tabah ya,” Gendhing mencari jemari Laura. “Aku tidak pernah melihatmu sesedih ini.”

Laura mengangguk “Yang kalian lihat selama ini adalah kepalsuanku.”

“Bukan kepalsuan, justru kepandaianmu menyimpan kepedihan karena kau tidak ingin bebanmu diketahui banyak orang. Tidak banyak orang memiliki ketabahan sepertimu.”

“Bukan tabah sebetulnya, tapi lebih karena tidak ada pilihan lain. Mungkin benar bahwa ini memang kejahatan takdir,” sesaat Laura tersenyum hambar, menghembuskan napas dan kembali mencari ketabahannya, yang bertabir kegenitan semu serupa sinar bulan perbani.

“Maka syukurilah anugerahmu, jangan kau biarkan tersia-sia segala yang kau punya.”

Gendhing mengangguk. Disimpannya pesan itu.

Suatu sore menjelang tutup salon, Ming memanggil Gendhing. Bergegas Gendhing merapikan sisir, gunting serta penggulung rambut yang baru saja dibersihkannya, lalu segera menuju teras belakang.

Lihat selengkapnya