Seperti sudah diduga, Bandar itu datang beberapa hari kemudian. Kedatangan yang tak terelakkan itu adalah bagian dari haknya untuk menuntut kembali uang yang pernah dipinjamkannya pada yu Rah sebagai salah satu kliennya. Dengan gemetar Bapak dan Ibu menerima kedatangan tamunya.
“Kudengar kau tertipu koperasi bangkrut itu?” tanya bandar itu tanpa basa-basi pendahuluan.
Bapak dan ibu mengangguk bersamaan.
“Uangku yang kau tabung di koperasi itu?”
“Ya,” Ibu mengangguk.
“Edan, terlalu berani. Ini namanya akal bodoh. Merasa bisa memanfaatkan uang orang lain untuk digandakan.”
“Maaf.”
“Maaf thok tidak cukup! Utang tetap utang, dibayar maaf berapa pun tidak akan lunas!”
“Ya, juragan.”
"Sekarang akan kau bayar dengan apa?”
Lidah orangtua Gendhing kelu mendadak.
“Kuambil becakmu juga percuma, paling hanya cukup untuk membayar bunga dua bulan.”
“Itu becak sewaan, bukan milikku.”
"Lha trus bagaimana? Rumah ini juga bukan milikmu, lalu apa yang bisa kupakai sebagai pelunasan?”
Pasangan suami istri itu terdiam. Tidak ada sepatah kata yang tersisa, yang sekiranya memadai sebagai jawaban. Sama seperti halnya tak ada yang tersisa di dalam rumah itu, yang memadai sebagai alat pembayar utang.
“Atau Gendhing saja kubawa?” bandar itu mengajukan alternatif.
“Tidak!” tolak Bapak seketika. “Penjarakan aku saja, kuterima apa pun hukumannya.”
"Percuma memenjarakanmu, uangku tetap tidak akan kembali. Malah makin repot harus berurusan dengan pengadilan.”
“Tapi jangan bawa anakku, dia tidak tahu apa-apa.”
"Hanya dia hartamu yang bisa kupakai sebagai pelunasan, mau bagaimana lagi?”
“Bawa aku saja,” Ibu menawarkan diri dengan ketakutan yang tak tersamarkan.
Bandar itu tertawa keras, dengan nada sumbang yang cenderung merendahkan.
"Untuk apa kubawa dirimu? Kau sudah tua, justru akan merepotkan.”
“Ambil nyawaku saja,” Bapak melangkah maju, berusaha menghadang penghinaan lebih lanjut dari Bandar itu.
“Apa kau kira aku pembunuh?” Bandar menggebrak meja, menunjukkan superioritasnya untuk menghentikan keberanian lawan. Nampak sekali betapa dia sangat terlatih mengantisipasi hal-hal semacam itu.
“Sudah, tidak ada tawar menawar. Hutang tetap hutang, itu uangku maka aku yang menentukan pembayarannya. Bayar tunai lengkap dengan bunganya atau kalian berikan Gendhing padaku!” katanya memberikan keputusan tak tertawar dengan nada tinggi.
Di balik dinding Gendhing tak mampu lagi menahan diri. Segera dilangkahkannya kaki, berdiri tegak di ambang pintu.