Kamar berjendela besar itu terasa dingin. Tidak ada mesin pengatur udara. Dari belah jendela angin mengalir merdeka memindahkan kesejukan udara taman pada kamar berarsitektur kayu di sebelahnya. Menandakan bahwa pemiliknya mempunyai kaitan yang erat dengan batik maka aroma perbatikan jelas terjejak pada ruang itu. Mulai dari tirai batik di jendela, penutup tilam, bantal-bantal besar kecil bersarung, bahkan sandal kamar dan keset penyeka kaki, taplak meja. Semua adalah batik.
Tiga perempuan berada di dalam kamar itu.
“Kamar Sri selalu rapi dan bersih, seperti kamarmu Zhang,“ kata Ranting menatap berkeliling . “Sejak dulu selalu kuangankan memiliki kamar rapi dan indah seperti ini.“
“Sekarang kau memilikinya,“ gumam Zhang Mey perlahan.
Ranting menghela napas, tersenyum samar. “Ya. Tapi tidak kumiliki kamar itu sendirian, melainkan berbagi.“
Tak berlanjut kalimat itu. Dan tak ada yang hendak mempertanyakan kelanjutannya, karena alangkah pahit nada yang tersirat pada kelanjutan itu. Melemparkan ingatan pada malam-malam ambigu yang belum juga selesai.
Dari tempatnya duduk Gendhing menghalau kegelisahannya dengan mengedarkan tatap pandangnya menyusuri ruangan itu. Kamar Tawangsri selalu rapi, bersih, segala sesuatu terletak pada tempatnya. Seperti itulah juga dikenalnya salah satu sahabat perempuannya itu. Rapi, terencana dengan ketegasan yang senantiasa terbaca pada setiap langkahnya. Sejak belia Tawangsri tidak pernah bimbang menentukan langkah. Apakah itu hanya sekedar memilih jenis permainan atau menentukan siapa melawan siapa. Tawangsri selalu tahu harus melakukan apa dan bagaimana. Itulah yang diperlukan Gendhing saat ini. Menyandarkan pilihan pada seseorang yang seakan tak pernah terjebak pada kebimbangan.
Sesaat terdengar langkah kaki, pintu terbuka dan Tawangsri muncul dengan nampan berisi minuman dan penganan.
“Jamu kunyit asem, kesukaan kalian,” katanya menyodorkan nampan.
“ASik segar. Eh, sudah lama kau tidak memberiku daster,” Gendhing menyeruput isi gelas. Rasa jamu yang asam manis bersuhu dingin membasahi lubang tenggorokannya.
“Masih suka daster batik? Bukannya sekarang pakai kaos oblong?”
“Daster tetap yang terbaik, nyaman dan dingin.”
“Nanti kucarikan di kios Bunda. Kau baik-baik saja?” Tawangsri menatap Gendhing tepat pada manik matanya, seakan menangkap kegelisahan yang ada dalam mata itu.
Gendhing menghela napas. Sesaat dicobanya memaknakan rasa yang ada dalam benaknya, namun tetaplah tak terpahami. Apakah setiap kemelut selalu membawa misteri seperti ini? Misteri yang samar, yang bahkan tak dipahaminya sendiri. Sesaat keempat perempuan itu terdiam. Mengapungkan rasa suwung pada segala sudut ruang. Menciptakan ruang-ruang hampa.
Pada menit berikutnya Gendhing menghentikan rasa suwung itu.
“Apakah seorang perempuan harus tetap menjadi perawan untuk calon suaminya?” gumamnya nyaris tanpa suara.
Tatap tiga pasang mata mengarah lurus pada Gendhing. Ada yang menajam pada tatap mata itu.
“Mengapa mempertanyakan hal itu?” Tawangsri menatapnya tajam. “Apakah ini berkaitan dengan rencana bandar itu menjadikanmu sebagai pelunasan?”
“Sangat biadab, itu termasuk tindakan kriminal, kita bisa melaporkannya kepada pihak yang berwajib,” sergah Zhang Mey.
“Percuma, mereka itu sindikat. Diperlukan strategi untuk melawan atau membongkar jaringan itu. Kita tidak memilliki bukti dan fakta yang memadai.”
“Barangkali memang mereka itu penjahat, tapi dalam kasus ini tetap kami yang salah. Kenyataannya kami hutang dan tak mampu bayar, itu saja,” sergah Gendhing. “Sudahlah, jawab saja pertanyaanku, apa yang akan terjadi ketika seorang perempuan tidak perawan ketika menikah pertama kalinya?”
“Tergantung karakter suaminya,” kata Ranting perlahan. “Barangkali bisa menerima, tapi mungkin saja otaknya akan selalu dipenuhi pertanyaan tentang siapa yang memperawani istrinya.”
“Atau dia akan menjadikan itu sebagai kartu truf yang suatu hari bisa dimanfaatkannya melakukan fait accompli.” tambah Zhang Mey.
Di tempatnya duduk Tawangsri menghela napas.
“Tergantung pada siapa jawaban itu diberikan,” katanya kemudian. “Pada masyarakat patriarki, jawabannya adalah ya, keperawananmu harus kau persembahkan untuk pengantin laki-lakimu. Bahkan maunya mereka, bibirmu, kakimu dan segala yang ada padamu adalah raga yang murni tak terjamah siapa pun sebelumnya.”
“Sementara laki-laki tak pernah dipertanyakan virginitasnya atau bahkan diuji tentang itu. Rasanya tidak akan pernah terjadi seorang laki-laki mempertahankan virginitasnya demi calon pengantin perempuannya.”
“Bagaimana pula kita menguji atau menandai virginitas laki-laki? Terlalu naif bila itu diukur atau diduga dari kedunguannya saat melakukan itu. Bisa saja dia sengaja atau berpura-pura grogi. Kedunguan semacam ini sangat mudah dilakukan bahkan direkonstruksi berulang-ulang.”
“Kalau beruntung, barangkali akan kutemukan seorang laki-laki yang tidak peduli dan lebih memilih memandang ke depan dan meninggalkan apa yang ada di belakang, sebagai sejarah yang tidak perlu dikenang.”
“Bila beruntung, karena pada masyarakat ini tidak banyak lagi tersisa laki-laki serupa itu, yang didukung karakter dan finansial memadai untuk menjadi kepala rumah tangga. Yang mungkin ada, laki-laki semacam itu tersedia, tapi dia menyimpan maksud tertentu.”
“Mengapa kau membahas hal-hal semacam itu, apakah kau telah menyerah pada seseorang?” tatap mata Tawangsri kembali tajam, kali ini menyiratkan sebuah dugaan.
“Belum,” Gendhing menggeleng.
“Atau kau sedang merencanakan untuk menyerah?”
Gendhing tercekat. Tak bisa dipungkirinya bahwa Tawangsri telah membacanya dengan cermat. Lalu dianggukkannya kepala.
“Ya”.
“Bandar itu?”
Gendhing menggeleng “Terlalu rendah hargaku bila aku menyerah padanya.”