Begitulah agaknya.
Perempuan dan seksualitasnya bisa menjadi mesin penakluk yang efektif.
Meskipun tidak hanya perempuan sendiri yang bisa menguasai dan menggunakan kekuatan itu untuk kepentingan pribadinya. Pada beberapa orang justru pihak lain yang menguasai perempuan dan memanfaatkannya untuk menaklukkan pihak lain demi kepentingan dirinya dan bukan demi kepentingan perempuan itu sendiri.
Panembahan Senapati menggunakan pernikahan putrinya Ratu Pembayun dengan Ki Ageng Mangir untuk mendapatkan Mangir sebagai bagian dari wilayahnya. Putri Guinevere dalam salah satu versi kisahnyanya, memilih melupakan Lancelot dan menjadi ratu bagi King Arthur, yang lebih pantas menjadi ayahnya, demi mempertahankan tanah kelahirannya Lyonese. Barangkali kecerobohan yu Rah menempatkan Gendhing pada situasi yang tak berbeda dengan Ratu Pembayun. Tapi pada posisi itu sekaligus pula Gendhing memilih jalan yang sama dengan Guinevere.
Realisasi atas sesuatu tergantung kemampuan dan kesempatan, bisa sangat jauh dari prediksi. Tapi siapa bisa membatasi harapan, impian dan keinginan, yang masing-masing memiliki kembaranya sendiri?
*
Senja sudah lama berlalu ketika itu, tidak ada kepingnya yang tertinggal. Tak juga ada sisa aroma bunga menguar, apalagi kenangan yang tertinggal. Agaknya semua terbawa oleh desir angin yang mengikuti kepak sayap kupu-kupu pulang ke sarang.
Gendhing berdiri tegak di hadapan Indragiri. Rona wajahnya seakan tanpa warna, seolah memantulkan entah apa dari kegelapan yang tak dimengerti.
“Kau nampak pucat, sakitkah?” Indragiri menatap gadis itu lekat.