Indragiri mengulurkan sebuah buku kecil. Buku tabungan berlogo sebuah bank terkenal.
“Sudah kubuka rekening tabungan atas namamu. Esok hari datanglah ke bank, berikan buku ini pada petugas dan mereka akan mencetakkan sebuah jumlah di sini. Bukan untuk penukar perawanmu, tapi lebih untuk kelembutanmu padaku.”
Gendhing bergeming. Apa pun istilahnya akan sama saja, katanya dalam diam. Aku menjual dan kau membeli. Kuberikan apa yang kupunya dan kau bayar harga yang kutetapkan. Artinya transaksi terjadi dengan sah, sesuai kesepakatan kedua belah pihak.
Bahwa kemudian yang menjadi komoditi itu adalah sesuatu yang bernama keperawanan, yang dianggap sebagai sesuatu yang tidak layak diperdagangkan, maka itu adalah pendapat beberapa orang atau kelompok, yang bisa saja diabaikan. Karena setiap perempuan mempunyai hak prerogatif untuk menentukan jalan ke mana keperawanan itu akan dibawa. Apakah akan diberikan sebagai upeti untuk mendapatkan sebuah negeri jajahan baru, sebagai hadiah pernikahan bagi suami atas nama tradisi, dijual dengan harga tertinggi pada lelang geisha, atau bahkan diberikan percuma pada seseorang yang diinginkannya.
Gendhing mempergunakan haknya sebagai perempuan untuk memilih. Itulah pilihannya. Lalu diterimanya buku itu. Disimpannya dengan baik tanpa membukanya. Entah bagaimana, telah ada padanya rasa percaya itu, bahwa Indragiri akan menepati janjinya, tanpa perlu pembuktian angka-angka. Sebuah rasa percaya yang muncul begitu saja.
Maka terjadilah.
Gendhing mendinginkan perasaan, mengosongkan pikiran. Diumpamakannya diri sebagai sepiring hidangan yang akan ditandaskan. Tak tersisa meski sebutir nasi pun.
Gendhing memejamkan mata, membunuh segala penglihatan. Tapi napas tak bisa ditunda, maka terhiruplah aroma tembakau dari sisa napas yang terhembus. Memburu nafas itu. Gendhing tak ingin mendengarnya. Dihentikannya segala suara itu bagi indranya. Tapi siapa bisa mengelakkan rasa? Maka tersesaplah rasa itu, rasa bahwa pilihan itu begitu pahit. Dan getir menjadi serupa oksigen yang harus dihirup memenuhi seluruh rongga napas untuk kelanjutan hidup.
Hidup yang berlanjut? Bagaimana hidup akan berlanjut sesudah ini? Lalu datang bayang itu.
Gendhing menemukan dirinya serupa preparat di meja ruang laboratorium. Entah sebagai tikus, kelinci atau katak. Pisau membedah belah tubuhnya, digerakkan oleh jemari yang gemetar, perlahan namun tajam ujung pisau menyobek kulit tipisnya, darah mengalir perlahan, lalu seluruh rongga perutnya terburai, mencecerkan usus, jantung, lambung, limpa. Dengan keadaan seperti itu, apa yang akan terjadi bila aroma tajam dari cairan amoniak tertumpah padanya, menyengat dan kemudian membangunkannya? Akankah dia bangkit dan mendapatkan nyawanya kembali dengan raga terburai serupa itu? Bila itu terjadi pastilah hidup jilid keduanya itu lebih dari sekedar mengerikan.
Seketika Gendhing menghentikan bayang imajinasi itu.
Tidak, dia tidak akan menjelma serupa preparat. Raganya akan utuh, setidaknya begitulah yang terlihat. Dia tidak akan dilihat sebagai zombie atau Frankenstein, mahluk hidup yang dibangkitkan kembali dari kematiannya tapi tak terelakkan membawa serta sisa-sisa kematian yang pernah dijalaninya. Apa yang ada dalam hidup jilid keduanya, justru akan lebih dari itu.
Transaksi semalam ini, tidak hanya merenggut selaput hymen dari dirinya melainkan sekaligus merampas sesuatu yang bermakna nilai dirinya sebagai perempuan, yang menyerah pada orang lain untuk sebuah harga bernominal tertentu. Label harga itu akan melekat padanya setelah ini, selama-lamanya terbawa ke mana pergi.
Hutang bisa dilunasi. Apa yang tergadai bisa ditebus, entah berapa lama waktu yang diperlukan untuk itu. Tapi penyerahan diri demi sejumlah uang, akankah tertebus diri dan pulih seperti semula?
Tidak akan, jawab Gendhing pada dirinya sendiri. Nilai diri itu akan robek selamanya, serupa selaput hymen itu yang tidak akan pernah terekat kembali dengan jarum dan benang terlembut sekali pun. Sanggupkah menjalani hidup selanjutnya dengan robekan sekaligus label harga itu, tak hanya sekedar sebagai preparat terbelah?
Lalu datang bayang itu. Bayang Bapak yang senantiasa ingin menjaganya, seakan dia akan selalu sebagai anak perempuan yang memerlukan perlindungan terbaik dari orangtuanya. Lalu datang pula bayang Ibu, yang berupaya merancang sebuah masa depan untuknya, dengan segenap kekuatan dan kesetiaan prajurit yang berjaga untuknya. Apa yang terjadi pada diri mereka bila menemukan kenyataan dirinya telah menyerah sebagai preparat yang dibelah dan berlabel harga?
Gendhing ingin menangis. Lalu datang rasa itu, semacam rasa jauh, jauh dari banyak hal. Ada sesuatu di dalam dirinya yang seakan-akan melambai-lambai menggumamkan salam selamat tinggal. Ada sesuatu di dalam diri yang seakan beranjak pergi untuk menempuh perjalanan terjauh dan tak akan kembali.