Langkah Gendhing bergegas meninggalkan lobby hotel. Semilir angin malam menerpanya lembut, melayangkan helai-helai rambutnya. Dingin menembus pori-pori kulit, memunculkan rasa menggigil di sekujur tubuh. Sesungguhnya ini bukan saat yang tepat untuk berjalan di kegelapan malam. Pasti lebih nyaman berada di dalam rumah, bergelung di balik selimut atau berada dalam pelukan hangat seseorang, lengkap dengan sebaris angka rupiah yang akan menyelesaikan kemelut ekonomi yang menjerat.
Gendhing tidak menghentikan langkahnya. Sama sekali tidak ada keraguan pada langkah itu, bahkan semacam semangat seakan justru memacu kakinya untuk bergerak lebih bergegas. Seakan melangkah pada sebuah bab baru pada lembaran hidupnya.
Kaki Gendhing lanjut melangkah. Dia telah sampai di jalan raya, ditebarkannya pandang, meneliti sederet becak yang terparkir menunggu penumpang. Tidak ditemukannya becak Bapak. Tentu saja, daerah itu bukanlah wilayah operasional bapaknya. Maka dipilihnya becak terjelek dengan tukang becak yang tertua. Tanpa menawar dipilihnya becak itu untuk membawanya pulang. Diingatnya pesan Bapak pada suatu kali, bahwa ketika telah cukup memadai penghasilannya, janganlah menawar harga yang diajukan sang tukang becak. Berilah harga yang lebih, niscaya beruntunglah tukang becak itu mendapatkan rejekinya, hingga cukup penghasilannya hari itu untuk membawa oleh-oleh bagi mereka yang menunggu di rumah. Gendhing memastikan tukang becak itu akan mendapatkan limpah rejekinya hari ini. Walau tak ada limpah rejeki yang ada dalam genggaman tangannya malam ini, namun telah diperolehnya sebuah rejeki lain berupa kesadaran tak ternilai.
Becak melaju membawa perempuan itu menuju pulang. Laju becak mendesirkan angin, serupa gemerisik angin di antara batang-batang padi. Lalu datang padanya rasa itu. Semacam rasa yang memunculkan perasaan jauh, entah jauh dari apa. Seakan merindui sesuatu yang samar, abstrak tak terjabarkan.
Gendhing menyadari betapa tak berdaya dia sesungguhnya. Begitu banyak hal tak terduga memaparkan lembar kehidupan yang tak terpahami meski dijalani bab demi bab. Serupa membaca novel thriller, yang setiap kali menyodorkan fakta-fakta baru dengan kehadiran tokok-tokoh yang menyimpan misteri untuk mengantarkan pembaca pada sebuah bab penutup yang klimaks atau justru sebaliknya.
Gendhing tidak tahu bagaimana mengartikan bab akhirnya kini, entah klimaks, anti klimaks atau tidak keduanya. Entahlah, Gendhing tidak ingin menemukan jawabannya, karena diyakininya bahwa lembar kehidupannya belum berakhir. Dia hanya telah melalui suatu bab terdahulu dan akan melangkah pada bab berikutnya. Setiap lembar kehidupan, entah berapa bab yang ada di dalamnya, akan senantiasa memunculkan banyak pertanyaan. Dan tidak semua mendapatkan jawabannya.