Larut malam nan pekat. Langit sewarna jelaga membentangkan gelap serupa selimut pada bola bumi. Tidak ada taburan bintang, yang ada hanya bulan perbani, dengan cahaya muram tersaput awan yang menebarinya serupa jaring samar menghalang cahaya.
Tawangsri sudah mengunci jendela, tapi masih saja dia berdiri di depan jendela sesudah itu, membiarkan tirai tetap terbuka, membebaskan tatap matanya lepas berkelana pada jelajah malam. Selalu disukainya malam serupa ini. Aroma larut yang pekat, diam yang hening, gerak angin membawa suara gemerisik daun. Itu adalah elemen-elemen yang terpadu memunculkan rasa sendiri yang tenang. Sebuah rasa yang seringkali tak terjelaskan.
Hening terhenti sesaat. Ada suara yang muncul dari sebuah gerak ritmis ayunan kaki berbalut sandal melangkah perlahan. Menghentikan jelajah malam Tawangsri. Digerakkannya kepala mencari asal suara.
“Bunda belum tidur?” tanyanya melihat Ibunya muncul dari celah pintu.
“Menunggu Ayahmu,” jawab Bunda sembari tersenyum.
“Tapi sudah selarut ini.”
“Tak apa. Lebih mudah menunggu Ayahmu pada malam begini, karena dia pasti pulang. Sementara menunggu dia bangun esok hari, lebih tidak jelas waktunya. Bisa pagi, tengah hari atau malah malam kembali,” suara Bunda sangat biasa tanpa nada keluhan, nyaris datar, “Sementara Bunda harus melakukan sesuatu yang tak bisa tertunda pagi esok.”
Tawangsri mengiakan.
Masa lalu itu melintas sesaat. Ingatan membawanya ke sana. Diingatnya dulu, setiap pagi dia harus selalu bersijingkat saat melewati kamar tidur orangtuanya, demi menyamarkan segala suara yang mungkin timbul, yang mungkin bisa mengganggu tidur Ayah. Nyaris tidak pernah ditemuinya Ayah pada setiap sarapan. Kursi Ayah selalu kosong, meski pada bagian meja itu senantiasa tersedia sepiring kue serabi hangat dan secangkir kopi panas hitam pekat dengan asap yang mengepul tipis.
Nyaris. Karena kadang-kadang secara tak terduga Ayah sudah berada pada kursi itu bahkan sebelum diselesaikannya dandan paginya. Tapi itu hanyalah ‘kadang-kadang’ yang langka, selangka kemunculan pelangi pada bentang langit. Yang setiap hari terlihat - kalau sempat melongokan pandang melewati pintu kamar yang terbuka - adalah sebujur tubuh terbungkus sarung menyelesaikan lelap tidur.
Ayah selalu mengawali tidurnya lewat dini hari, setelah menghabiskan malam entah di mana, entah dengan siapa. Karena itu bangun pagi hari menjadi suatu hal yang mustahil.
“Kau sendiri, nak, mengapa belum tidur?” suara Ibu menghentikan kenangan masa kecilnya.
“Ada beberapa tugas kuliah yang harus diselesaikan,” jawab Tawangsri.
“Kau selalu rajin, tak ada penundaan yang kau lakukan, meski Bunda tak selalu bisa mengingatkanmu.”
“Terlalu banyak yang harus Bunda kerjakan, akan sangat merepotkan bila harus kubebani tugas untuk mengingatkanku.”
Bunda tersenyum “Itulah dirimu, selalu tahu apa yang terbaik bagimu dan orang lain. Kaulah penghiburan terbesar bagiku.”
Tawangsri tercekat mendadak.
Suara dan kalimat bunda jelas menampakkan rasa syukur, sekaligus menyiratkan getir yang tak terelakkan. Oleh Tawangsri getir itu terbaca dengan jelas, sangat jelas, bahkan seakan tereja huruf demi huruf. Rapi terbaca tanpa ada satu huruf pun yang tertinggal.
Tawangsri tahu, sangat mengerti darimana kegetiran itu berasal. Kedewasaannya terbentuk terlalu dini, melalui malam-malam pada masa kecilnya, ketika desakan urine yang memenuhi kandung kemihnya, membangunkannya dari pulas tidur tengah malam. Maka Tawangsri kecil harus bergegas keluar dari kamarnya untuk menuju kamar mandi di bagian belakang rumah. Ketika melintas lorong-lorong panjang rumah itu, selalu dilihatnya Bunda tercenung dalam kesendiriannya menikmati malam, menunggu Ayah pulang. Ayah tidak membawa kunci, sementara Bunda tidak tega menugaskan pembantu bersiaga menjaga pintu bagi Ayah. Pada saat yang sama Bunda juga tidak ingin memancing kegusaran Ayah bila harus menunggu pintu terlalu lama pintu terbuka untuknya. Maka dengan segala kerelaannya Bbunda mengambil alih tugas-tugas itu, berjaga dengan kesendiriannya demi sebuah keselarasan. Meski itu berarti mengorbankan waktu tidurnya, menunda kelelahan diri menemukan masa istirahat.
Tawangsri ingat, ketika itu dengan keyakinan diri selalu berkeras menemani, merasa sanggup menghalau kantuk untuk tidak membiarkan Bunda dalam kesendirian. Walaupun ternyata pertahanannya hanya berdurasi lima belas menit, karena selewat menit itu maka kelopak mata kecilnya akan meredup dan membawa tubuhnya terkulai pulas pada pangkuan ibunya.
Begitulah, Tawangsri kecil memang gagal menemani bundanya berjaga, namun sesungguhnya itu bukanlah upaya yang gagal, karena dengan Tawangsri kecil dalam pangkuannya maka ibunya seakan mendapatkan sahabat seiring yang setia dan menyalakan semangat baru baginya untuk menjalani segala kegetiran.
“Bunda, ingin kutanyakan sesuatu.”
“Ya?”
Tawangsri manatap ke dalam mata ibunya. “Apakah Bunda mencintai Ayah?”
“Tentu saja, kalau tidak, darimana kau berasal?” jawab Bunda segera. “Begitu indahnya dirimu, sejak bayi hingga saat ini, tentu karena paduan cinta yang sempurna.”
Begitukah? tanya Tawangsri tak terungkap. Lalu mengapakah tidak ada yang lain lagi selain aku? Mengapa aku tumbuh sendirian sebagai tunggal, si semata wayang di dalam rumah ini? Mengapa paduan cinta itu tak berkelanjutan? Ataukah berhenti cinta itu?
“Benarkah?” Tawangsri tidak mampu menekan keraguannya.
Bunda mengangguk.
“Tapi Ayah bagai tak pernah ada ….” Bagimu bunda, bagiku juga, lanjut gumam Tawangsri dalam hati.
Bunda menghela napas, sejenak kemudian menghembuskannya.
“Ayahmu memiliki ritmis biologis yang berbeda dengan orang kebanyakan. Nyawanya menyala kala malam dan terlanjur diperolehnya lingkungan teman-teman serupa, yang hidup dengan malam.”
Apakah kehidupan malam itu? Tawangsri tahu, kota ini memang tidak pernah tidur. Ketika siang memudar, mereka yang berada di lingkaran malam memulai gerak pencarian finansialnya. Ada banyak warung kudapan khas yang justru memulai awal usahanya pada dini hari, dan mereka telah pula ditunggu para pelanggannya. Mereka adalah orang-orang serupa ayahnya.