Lepas tengah hari.
Matahari garang sekali kali ini, pendar cahayanya sangat membara. Nyaris tak ada celah tersisa yang terhindar dari cahayanya. Bagai menembus semua sudut, setiap celah, tidak menyisakan keteduhan meski sejenak. Atau matahari yang rakus?
Dihisapnya segala sejuk dan dingin yang mungkin tersisa dari udara pagi sesaat lalu. Matahari menemukan santapan lezatnya ketika milyaran manusia terus melakukan pembakaran, baik organik melalui pembakaran hutan ataupun dengan bahan bakar fosil, yang kemudian melepaskan gas karbon menuju atmosfer bumi. Maka lapisan udara yang semestinya yang melindungi bumi itu, justru memerangkap sinar matahari di dalamnya, menembuskannya pada permukaan bumi, dan mererealisasikan efek rumah kaca pada bumi, hingga lingkungan planet biru ini panas sekali.
Tawangsri menyeka peluh di dahi. Tata ruang di rumahnya menyediakan banyak celah besar untuk mengalirkan udara sebagai sarana ventilasi. Tapi toh tata ruang terbuka semacam itu tak juga cukup untuk menetralisir udara panas, hingga tak terhindarkan munculnya peluh-peluh pada tubuh para penghuninya.
Situasi semacam itu sungguh tidak nyaman dipergunakan untuk memikirkan sesuatu yang serius. Laptop di depannya sedari tadi menyala sia-sia, menyajikan baris-baris kalimat yang tak juga mampu dilanjutkannya. Untuk kesekian kali kembali dibacanya analisanya :