Pada suatu hari ditemukannya seseorang.
Ketika itu adalah sebuah sore yang lembut, dengan sisa basah gerimis yang telah mereda. Gerimis yang samar turun sesaat lalu, hanya samar, tak berlanjut menjadi gerimis yang deras atau pun hujan. Hanya titik air yang jarang, lebih serupa siraman air membasahi tanah dan dedaunan ala kadarnya. Tak sempat membuat tanah menjadi becek atau pun memunculkan genangan di beberapa tempat.
Tawangsri baru saja keluar dari kampus, lalu melintas taman kota menuju jalan raya di mana banyak kendaraan umum melintas. Di bawah rindang pohon jeruk bali, yang rimbun daunnya membentuk setengah lingkaran serupa payung, dengan buah-buah jeruknya yang mulai membesar seukuran bola tennis, laki-laki itu memerangkap tatap matanya.
Langkahnya terhenti. Tatap matanya tak beranjak, terpaku pada apa yang ada di depannya. Seorang laki-laki, barangkali seorang ayah, sedang berjongkok di depan seorang anak perempuan kecil, barangkali anak perempuannya. Laki-laki itu menyimpulkan tali sepatu anak itu, yang agaknya terlepas. Sesudah tali itu tersimpul erat membentuk satu ikatan berpita pada sepatunya, lalu anak perempuan itu memegang kedua belah pipi ayahnya, mengecupnya sembari mengucapkan terimakasih. Lalu dengan langkah riang anak itu kembali pada kerumunan teman-teman sebayanya yang bermain tak jauh dari kolam air mancur.
Tawangsari terpukau, tepatnya takjub oleh adegan itu.
Diingatnya betapa gambaran peristiwa serupa itu pernah tercipta dalam imajinasinya dan diinginkannya terjadi pada dirinya pada suatu ketika di masa lalu pada masa kanak-kanaknya. Imajinasi yang ternyata tak pernah terjadi padanya hingga saat ini. Tidak pernah sekali pun ayahnya melakukan hal serupa itu untuknya.
Lalu kesepian merambatinya, menempatkannya pada sebuah keinginan yang tak pernah sampai, namun tetap mengendap pada sebuah ruang kosong dalam benaknya. Menciptakan lubang tak tertambal, serupa sumur tua yang tak lagi berair dan tak disinggahi para penimba. Sumur yang senantiasa kesepian menunggu deras hujan turun untuk menciptakan sebuah mata air baru yang mengisi kekosongan liangnya. Hujan yang ternyata tak pernah datang.
Sedemikian terjebaknya Tawangsri pada imajinasi itu sehingga tanpa disadarinya sedemikian lama pula tatap matanya ‘memenjarakan’ laki-laki itu.
Dan laki-laki itu, bukan seorang yang bebal untuk tidak memahami arti sebuah tatapan panjang yang mengarah padanya sedemikian lama. Tapi pula bukan seorang yang gegabah untuk langsung mengartikan bahwa tatapan itu semata tertuju padanya dengan maksud-maksud tertentu. Maka ditengokkannya kepala pada kanan dan kirinya, mencari barangkali ada sesuatu yang lain di sampingnya yang membuat tatap mata seorang perempuan mengarah sedemikian rupa. Tapi laki-laki itu tidak menemukan sesuatu yang istimewa di sampingnya. Maka tahulah dia bahwa tatap mata perempuan itu memang untuknya.
“Anakku,” katanya kemudian, menjelaskan tanpa diminta, berusaha mencairkan tatap mata Tawangsri. “Belum empat tahun, belum bisa menyimpulkan tali sepatunya dengan benar.”
Tawangsri terkejut, dan tersadar betapa ia ‘mencengkeram’ laki-laki itu pada tatap matanya. Seketika tatap matanya mencair, rona dadu menjalari pipi, sebagai akibat rasa malu yang mendadak menguasai.
“Maaf, saya……,” Tawangsri sedemikian tersipu, hingga tak mampu berkata lanjut.
Laki-laki itu tersenyum, tatap matanya lunak menetralisir keadaan, menepikan rasa jengah Tawangsri.
“Langit Biru, nama pemberian Ibunya.”
“Oh,” Tawangsri manggut, menyadari betapa tatap lunak mata laki-laki itu menampakkan keramahan yang tulus.”Nama yang indah, di mana Ibunya?”
Mendadak mata laki-laki itu meredup. Serupa cahaya lampu dini hari yang memudar cahayanya oleh kehadiran sinar matahari.
“Sudah meninggal,” katanya kemudian di antara helaan napasnya.
Tawangsri tercekat. Bukan karena jawaban itu. Di masa lalu, saat ini atau nanti, kematian adalah sesuatu yang biasa dan akan terus terjadi. Kematian adalah bagian dari proses hidup manusia, binatang ataupun tumbuhan. Semua akan mengalaminya sebagai sebuah proses akhir kehidupan setelah kelahiran dan pertumbuhan. Bahwa kemudian proses kematian itu membawa tragedi, entah bagi yang meninggal atau yang ditinggalkan, maka itu adalah soal lain.
Berapa banyak ibu atau ayah yang meninggal dan melepaskan anak-anaknya tumbuh sebagai yatim piatu? Beberapa yang beruntung akan tereliminir penderitaannya secara finansial dengan pencairan polis asuransi, sebagian lainnya menemukan orang tua pengganti, yang tidak selalu menjanjikan (tapi bisa juga lebih baik), dan sebagian lainnya terhanyut begitu saja ke mana arus kehidupan mengalir. Di atas semua itu, kematian bukanlah sebuah anomali.