GARIS PEREMPUAN

Maysanie
Chapter #30

TAWANGSRI 5 : Bayang Melekat Dalam Ingatan

Berhari-hari kemudian Tawangsri menyadari bahwa bayangan Jenggala ternyata telah melekat pada dinding-dinding benaknya.

Sesudah pertemuan di taman kota itu, tidak pernah satu kali pun dia bangun di awal hari tanpa teringat laki-laki itu. Bayangan Jenggala tidak berputar-putar dalam kepalanya, melainkan duduk dengan tenang pada sudut terjauh dalam benaknya. Masih dengan lukisan kepahitan yang tergurat jelas pada raut wajahnya. Bayangan itu, entah bagaimana, dengan caranya sendiri seolah menggapai dan memintanya untuk mencari jalan menuju padanya.

Sesungguhnya Tawangsri ingin mengingkari itu.

Ingin dikatakannya pada diri sendiri bahwa tidak ada kepentingan apa pun antara dirinya dengan laki-laki itu. Bahwa Jenggala hanyalah seseorang yang kebetulan bertemu dengannya pada suatu ketika, sama seperti ratusan orang-orang tak bernama yang telah dan akan ditemuinya pada hari-hari yang dilaluinya sebelum dan sesudah ini. Bahwa Jenggala hanyalah bagian dari orang-orang tanpa identitas, anonim, yang bersama berlalu lalang pada ruang-ruang publik, sembari berbagi oksigen yang sama. Bertemu, barangkali bersilang pandang, bersimpang jalan atau melangkah pada arah yang sama, tapi sesudahnya adalah selesai. Tanpa perlu saling mengingat, tanpa perlu saling menyimpan kesan dalam ingatan, tanpa perlu saling mengenang.

Ternyata tidak seperti itu. Bayangan Jenggala dengan anak perempuannya, seakan menempatkan diri dengan tenang pada sudut terjauh di benaknya.

“Apakah kau melamun?” mata Zhang Mey yang mungil bergaris tipis menatapnya dengan gurat tanya yang tak tersembunyikan.

“Tidak. Aku sedang berpikir,” kata Tawangsri.

“Tapi kau biarkan es krimmu mencair,” Zhang Mey menunjuk piring kecil di depannya dengan ekspresi yang menyedihkan. Tawangsri terkejut melihat betapa banana split pesanannya lebih mirip perahu berbentuk pisang yang terendam lumpur warna putih dan merah muda.

“Sayangnya aku tidak suka banana split, kalau ya, bisa kucuri sedikit-sedikit tanpa kau ketahui,” Zhang Mey mendorong mangkuk es krim coklatnya yang telah tandas. Diusapnya sudut bibir dengan punggung tangan.

“Mau pesan lagi? Satu scoop lagi untuk menemanimu, aku masih sanggup.”

“Ah kau, satu liter pun tak akan membuatmu kenyang,” sergah Tawangsri, lalu digapainya pramusaji untuk mengulang pesanan.

“Itu kalau yang itu,” bisik Zhang Mey menyebutnya sebuah label es krim yang rasa coklatnya tak tertandingi, “Kalau yang ini rasa coklatnya standar.”

“Kalau soal es krim, kowe gragas tenan (kamu sungguh rakus).”

Ben, biarin, sebelum keduluan dengan endapan kolesterol, asam urat dan lain-lainnya itu. Maka selagi muda harus kusantap es krim sampai kekenyangan.”

Gendheng (sinting).”

“Tapi aku tidak lebih sinting daripada seseorang yang membiarkan es krim meleleh tepat di depan mata,” Zhang Mey terbahak. Tawangsri manyun, sembari mengikuti tawa sahabatnya.

“Katakan,” kata Zhang Mey kemudian, serius, sesudah tawa mereka mereda.

“Apa?”

“Yang ada dalam lamunanmu.”

Tawangsri menghela napas, menatap ke dalam mata Zhang Mey sejurus lamanya.

“Apakah kau pernah berpikir tentang laki-laki?” katanya kemudian.

“Setiap hari,” jawab Zhang mey tidak memerlukan waktu untuk berpikir.

“Astaga, siapa dia?” Tawangsri terkejut.

“Tony Leung,” Zhang Mey menyebutkan nama seorang selebriti film.

“Aish,” maki Tawangsri merasa terkecoh. Zhang Mey terbahak.

“Tapi sungguh, aku selalu berpikir andai ada laki-laki seperti itu dalam duniaku, maka tidak kuperlukan yang lain lagi.”

“Pasti banyak, bahkan lebih cakep.”

“Bukan secara fisik. Banyak laki-laki yang penampilannya menggetarkan. Tapi bukan itu yang kupikirkan. Inipun Toni Leung hanya dalam perannya di film Internal Affairs III, tidak dia dalam semua filmnya.”

“Apa menariknya dia dalam peran itu?”

“Sebuah peran tentang dunia penyamaran yang ambigu, dia mereprentasikan laki-laki yang menyimpan kegelisahan dengan pendaman beban yang tak terjelaskan. “

“Misterius?”

“Bukan. Caranya menyimpan kegelisahan, dengan segala ketenangan yang dingin, justru memancing munculnya gairah tersembunyi.”

Apakah itu nyaris sebangun dengan keberadaan Jenggala dalam benakku? tanya Tawangsri dalam diam. Bedanya, Jenggala tidak menyimpan kegelisahan, melainkan kehilangan yang sedemikian pahit. Namun, apakah layak kepahitan yang sedemikian justru memunculkan gairah tersembunyi?

“Sudah, ini bukan tentang aku. Kau tahu siapa laki-lakiku,” Zhang Mey menyentuh jemari Tawangsri, matanya menatap serius, “Belum kau jawab pertanyaanku. Siapa laki-laki itu?”

Tawangsri menunduk, menyimpan diamnya sendirian. Sikapnya itu tiba-tiba saja seakan membekukan ruangan. Seakan semua larut dalam diam itu, mengerti betapa perempuan itu sedang berada dalam dunianya sendiri dan karenanya janganlah diganggu. Zhang Mey memilih sikap yang sama. Menunggu dengan sabar Tawangsri menentukan waktunya.

“Dia laki-laki yang patah hati, istrinya meninggal sewaktu melahirkan,” Tawangsri mengawali kalimatnya dengan nada yang sangat pelan. “Kami bertemu di taman, bicara sangat sebentar, tentang sesuatu yang tidak terlalu istimewa. Tapi sesudah hari itu, aku selalu terbangun dengan dirinya dalam ingatanku.”

“Kalian berjanji akan bertemu lagi?” tanya Zhang Mey hati-hati.

“Tidak,” Tawangsri menggeleng. “Kami hanya tahu soal nama, tanpa data lain.”

Lihat selengkapnya