Berulang-ulang Jenggala meneliti ponselnya memastikan apakah ada panggilan masuk atau pesan singkat yang barangkali terlewatkan. Tapi setiap kali itu pula ditelannya kekecewaan. Semua pesan telah terbaca, bahkan pula telah berbalas dengan baik. Tidak ada yang gagal atau pun masuk pada file tunda. Begitu pula panggilan masuk, telah pula terjawab, tidak menyisakan misscall satupun.
Dihembuskannya napas. Dengan kesadaran penuh, diakuinya - meski tak ada yang bertanya - bahwa hal ini telah dilakukannya seminggu terakhir ini. Berulang-ulang, setiap kali, tanpa merasa bosan, tanpa berasa bodoh. Bila ada yang memperhatikan, pasti akan merasa bahwa yang dilakukan Jenggala tak berbeda jauh dengan ciri-ciri pengidap sindrom autis. Melakukan sesuatu yang berulang, tanpa merasa perlu berhenti. Seperti seseorang yang melakukan acara ritual adat, berulang dari satu generasi pada generasi selanjutnya.
Lalu Jenggala merasa bodoh. Bukan karena menyadari apa yang dilakukannya pada ponselnya lebih serupa gejala obsesif, melainkan karena menyadari kekeliruan yang telah dibuatnya. Baru disadarinya, telah dilakukannya kesalahan besar. Kesalahan besar itu adalah: seharusnya bukan data nomor ponselnya yang diberikannya kepada Tawangsri, melainkan sebaliknya. Seharusnya dialah yang mencari tahu data gadis itu.
Bodoh. Naif. Over optimis dan sebagainya. Jenggala mengutuk dirinya sendiri.
Naif: mengira bahwa gadis itu sungguh menyukainya dan berkenan menyimpan nomor ponselnya.
Bodoh : karena tidak meminta nomor ponsel gadis itu.
Over optimis : memperkirakan gadis itu berminat dan akan mengunjungi perpustakaannya.
Inilah akibat dari rangkaian kesalahan besar itu, menelantarkan dirinya dalam penantian yang tak jelas. Terjebak dalam pengharapan dengan kecemasan yang nyaris tak masuk akal. Terperangkap dalam kebodohan-kebodohan yang mungkin berlanjut membentuk sekuel. Mendadak Jenggala tertawa, tanpa suara mentertawakan diri sendiri dengan segala kebodohan yang dilakukannya. Lalu disadarinya satu hal.
Sesungguhnya selama ini dia telah berhenti berpikir tentang perempuan.
Sejak hari itu, ketika seorang bayi diserahkan dalam pelukannya, sementara ibu yang melahirkannya terbaring dalam keranda. Hari pertama membawa anak itu menuju ke rumah, Jenggala merasa bahwa pencariannya terhadap jiwa dan makna perempuan telah selesai. Yang terpahat pada dirinya sesudah itu adalah bahwa seorang perempuan telah membuatnya jatuh hati, menawarkan harapan baru tentang hidup, menyimpan benihnya dan menumbuhkan dalam rahimnya sebagai makhluk baru perpaduan antara mereka berdua. Lalu pada hari yang lain, perempuan yang sama meninggalkannya dan membiarkannya terbangun sendirian pada suatu pagi dengan perasaan remuk tak berbentuk, bahkan lebih remuk dari pecahan partikel debu.