Jenggala kemudian memilih untuk tidak sekedar menunggu, melainkan berusaha untuk menemukan Tawangsri. Diyakininya ada takdir yang memancing untuk diraih, menciptakan peluang bagi diri sendiri untuk mendapatkan atau menemukan sesuatu.
Tidak semua takdir bermurah hati dan menempatkan seseorang dalam situasi ‘kebetulan’. Tak terhindarkan ada takdir yang benar-benar tak menghendaki seseorang mendapatkan sesuatu yang diinginkannya, betapapun gigih upaya yang dilakukannya.
Lalu ditujunya kampus itu, dikelilinginya sembari menajamkan pengamatannya. Meneliti satu-persatu ruang-ruang kelas, perpustakaan, lapangan, kantin, lorong-lorong antar ruangan. Dan ditemukannya makna peribahasa lama itu : mencari sebuah jarum di antara tumpukan jerami.
Sesuatu yang agaknya mustahil, namun belum membuatnya putus asa.
Sampai suatu ketika takdir berbaik hati kepadanya. Ketika itu Langit Biru sedang menginap di rumah neneknya beberapa hari. Sang nenek rupanya sangat merindukan cucunya dan memaksa untuk ‘meminjamnya’ beberapa hari, dan meninggalkan Jenggala sendirian dengan kesepiannya.
Jenggala memilih perpustakaan kampus untuk membunuh kesepian dan melanjutkan pencariannya terhadap Tawangsri. Beberapa malam dilewatkannya di sana, dengan menempatkan diri pada sebuah sudut, menunggu waktu berlalu, menunggu sebuah bayang yang tak terdeteksi keberadaannya.
Biasanya Jenggala menunggu hingga perpustakaan tutup. Tapi kali ini, menjelang pukul tujuh, mendadak muncul satu kesadaran bahwa agaknya dia menunggu di tempat yang salah. Dia tidak pernah bertemu Tawangsri di tempat ini sebelumnya, lalu mengapa berharap perempuan itu akan muncul untuknya di sana? Walau benar perkiraannya bahwa mahasiswa tidak pernah jauh dari buku dan probilitasnya relatif tinggi untuk berada di perpustakaan.
Jenggala harus mengakui, bahwa inilah kesalahan besar jilid keduanya setelah kasus nomor telpon tempo hari. Persis seperti dugaannya bahwa kebodohan seringkali bersekuel.
Nyaris ditertawakannya diri sendiri sebelum kemudian memutuskan untuk beranjak. Sesaat dirasakannya kesepian yang sama muncul dari sisi-sisi hatinya, menyadari betapa upaya pencariannya sia-sia. Nyaris dituduhnya takdir yang tak berpihak padanya. Lalu diayunkannya langkah menuju pulang.
Mungkin benar bahwa takdir tidak berpihak kepadanya, dalam area perpustakaan. Tapi di pelataran kampus takdir memberikan sesuatu yang berbeda. Tawangsri ada di sana. Perempuan itu melangkah tanpa suara, pada suatu arah.
Jenggala tak mapu menahan diri. Diburunya langkah perempuan itu dengan segera.
“Aku mencarimu,” serunya ekspresif. Langkah Tawangsri berhenti. Sangat terkejut, ditatapnya Jenggala bagai melihat malaikat turun ke bumi.
Betapa tidak, sudah ditahannya diri berhari-hari untuk tidak menggerakkan jari menekan tombol-tombol nomor ponsel laki-laki itu. Sudah berhari-hari sejak Jenggala memberikan nomor itu padanya. Penahanan diri yang nyaris tak bertahan kalau tidak terbantu oleh kesadaran bahwa dia tidak layak melakukan kebodohan nomor dua setelah pada suatu sore sengaja berada di taman untuk menemukan laki-laki itu kembali.
Suatu hal yang tak ingin diulanginya karena laki-laki itu sungguh berpotensi memerangkapnya pada sebuah ketidakberdayaan. Tapi kini Jenggala ada di depannya. Berjalan, nyaris berlari menuju ke arahnya dengan tergesa. Dengan tatap mata yang sungguh siapapun bisa membacanya, itu adalah pendar kerinduan yang teramat jelas.
“Mencariku? Mengapa?” tanya Tawangsri, sekuat tenaga menahan diri untuk tidak menuju Jenggala. Jenggala blingsatan. Gugup mendadak.
Alasan apa yang harus dipakainya untuk menjelaskan mengapa mencari Tawangsri? Terlalu dini untuk berkata jujur saat ini, bisa jadi akan tampak sangat vulgar.