“Apa yang terjadi pada kita?” tanya Tawangsri pada suatu hari, tanpa melepaskan diri dari pelukan Jenggala.
“Tanpa pernah bertemu sebelumnya, berbicara sangat sebentar, lalu begitu saja kau tumbuh dalam ingatanku.”
“Serupa benih yang menemukan tanah persemaian di masa tanam?” bisik Jenggala menyesap aroma lembut Tawangsri menjadi bagian napasnya.
“Tidak akan selalu tersedia jawaban untuk pertanyaan itu. Rasa hati bukan sesuatu yang bersifat matematis, yang terdeskripsikan dengan jelas hukum sebab akibatnya. Kita telah dan akan bertemu banyak orang, tapi dari sekian banyak itu, hanya beberapa atau bahkan satu, yang mampu mengarahkan kita untuk menuju kepadanya, dengan atau tanpa alasan.”
“Mungkinkah karena kau dan Langit membawa imajinasi kanak-kanakku?”
“Ada beberapa banyak ayah dengan anak perempuannya di kota ini? Atau lebih spesifik lagi, duda yang memeluk anak perempuannya?”
“Tidak tahu,” Tawangsri menggeleng.
“Tak perlu sensus atau survey untuk menentukan angka statistiknya, yang pasti aku dan Langit bukanlah pemilik tunggal status itu. Di antara jumlah itu takdir mengarahkanmu padaku. Ketika kau tidak menyambut positif isyaratku, kupilih takdirku dengan mencarimu. Tidak berhasil pada mulanya, tapi agaknya takdir berbelas kasihan padaku dan berbaik hati menempatkanmu pada sebuah kebetulan, untuk kutemukan.”
Aku juga memilih takdirku, ketika aku menuju padamu pada sore yang kedua itu.
Sebuah pilihan yang pada mulanya dianggapnya sebagai kebodohan khas perempuan. Namun benarkah bodoh, ketika seseorang memilih untuk mengikuti arus yang mengalirkannya, meski tak diketahuinya akan menuju ke mana arus itu?
Tawangsri tak hendak menemukan jawabannya. Seperti yang dikatakan Jenggala, sesuatu yang menyangkut rasa, hendaklah tidak dipikirkan secara matematis, akan memunculkan perdebatan panjang yang tak tersimpulkan.
“Aku ingin kau tahu satu hal,” Jenggala mengusap pipi Tawangsri.
“Apa?”
“Hari itu kau telah membuatku jatuh hati, maka akan kutaruhkan hatiku padamu dan menetap di sana selamanya,” kata Jenggala menatap ke dalam mata Tawangsri. Seakan merasuki ke dalam mata itu, menyusuri setiap lorong-lorongnya dan membuka setiap celah misterinya.
Pada saat yang sama Tawangsri merasuki lorong yang serupa. Kegamangan menyertainya karena lorong yang didapatinya bukanlah labirin berliku belaka, melainkan dipenuhi bayang terpahat pada setiap celah dindingnya. Bayang perempuan yang tak hendak dia tahu siapa namanya. Labirin yang sama pula, setiap kelokannya menjanjikan imajinasi yang menggenangi benak masa kecilnya, yang mencari celah untuk menemukan muara perwujudannya.
Tawangsri mempertaruhkan keberaniannya untuk menyusuri lorong itu. Labirin dengan berbagai kelokan menyimpan misteri berlapis yang justru memancing hasrat untuk terus menjelajahinya.
“Apakah kau pernah berpikir tentang bagaimana perempuan melepaskan keperawanannya?”
Sebuah pertanyaan yang tak biasa. Sesaat Jenggala merenungi pertanyaan itu. Pertanyaan itu tidak hanya membawa misteri berlapis, tapi menyiratkan dimensi lain di baliknya. Seolah ada yang membayang pada pertanyaan itu. Samar, seakan tersaput mendung, tapi sekaligus jelas menyiratkan sesuatu.
“Tergantung pada keberadaan perempuan itu,“ jawabnya kemudian, mengarahkan jawabannya pada sesuatu yang normatif.
“Dalam arti secara geografis dan kultural serta jaman dia hidup. Setiap unsur itu memiliki dimensinya sendiri dan bisa jadi memberikan pengaruh yang signifikan tentang makna keperawanan yang diyakininya.”