Perjalanan itu menjelang pada sebuah akhir ketika datang sebuah bayangan bagi Tawangsri. Bayangan itu, seorang anak perempuan yang menghampirinya dan menangis. Tersedu tangis itu, lirih nyaris samar, menampakkan kehilangan yang sangat. Ah, tangis anak-anak, bukankah selalu seperti itu? Anak-anak selalu menangis setiap kali tidak mendapatkan apa yang diinginkannya. Pada beberapa anak tangis merupakan instrumen, bagian dari strategi untuk mewujudkan sesuatu. Maka anak yang menangis adalah sesuatu yang wajar.
Begitukah? Ada benarnya, tapi isak anak perempuan itu bukanlah tangis biasa khas anak-anak. Itu adalah tangis kehilangan. Air mata anak perempuan itu adalah bening yang mengalirkan rasa kehilangan pada setiap perciknya. Gerangan apa atau siapa yang menghilang darinya? Anak perempuan itu, siapakah?
Lalu datang sebuah ingatan. Tangis samar anak itu, sama seperti yang selalu disimpannya setiap malam pada suatu ketika di masa silam, kesia-siaan menantikan kepulangan seorang ayah. Itu tangisnya. Itu kehilangannya. Itu dirinya.
Tawangsri melangkah mendekat, dikembangkannya lengan untuk menjangkau anak itu dengan rengkuhan. Nalurinya mengatakan bahwa sebuah dekapan hangat akan menenangkan anak itu, sama seperti dulu rengkuhan bunda untuknya.
Tapi langkahnya terhenti. Bayang anak itu hadir lebih nyata dan membuatnya terperangah. Bayang itu ternyata bukan dirinya di masa lalu, melainkan seorang anak perempuan lain. Langit. Lalu tangis itu tidak samar lagi. Sedu-sedan itu tidak tertahan lagi, melainkan mengalir deras menyerukan pencariannya. Seorang anak perempuan yang kehilangan ayahnya.
Di manakah Ayahmu, sayangku? Tahukah kau di mana akan menemukan Ayahmu?
Tawangsri tercekat. Dia tahu di mana pencarian itu akan menemukan jawabannya. Bayang yang dicari anak itu kini berada dalam pelukannya. Seseorang yang sedang memberinya kehangatan menenangkan serupa padang lavender ungu muda, yang merengkuhnya menjalani sebuah perjalanan menuju pada sesuatu.
Tangis Langit masih menyerukan kehilangannya. Tawangsri sungguh tahu bagaimana rasanya sebuah kehilangan. Sesuatu yang memunculkan rasa jauh, membawa serta kepedihan yang tak mudah dinarasikan. Semacam taburan remah-remah beraroma hampa yang menyesakkan saluran napas. Sekarang akankah dibiarkannya seorang anak mengalami kehilangan itu? Seorang anak perempuan yang sungguh serupa dirinya di masa lalu.
“Berhentilah,” kata Tawangsri kemudian. Perlahan suaranya, lembut nadanya, tapi seakan menyimpan daya perintah yang tak terbantah, meski di baliknya menyimpan hasrat menggerus yang tak tersembunyi. Lalu dibukanya mata, melepaskan pelukan.
Jenggala mengeluh, geraknya tertahan. Enggan terhenti gerak itu, dipenuhi rasa tak mengerti. Siapa yang tidak? Tersudahi dari sebuah perjalanan di ambang tujuan akhir?
“Mengapa?” dadanya bergelombang menyimpan nafas yang gemuruh.
Redup cahaya samar menampakkan alir peluh membasahi pelipis laki-laki itu. Tawangsri menyeka aliran basah itu, mengecupnya sekilas.
“Kita tidak bisa melakukan ini,” Tawangsri meraih selimut, membungkus diri.
Jenggala menenangkan napasnya yang memburu, nyaris tersengal.
“Anakmu mencarimu,” gumam Tawangsri datar.
“Langit baik-baik saja bersama neneknya.”
“Sungguh dia mencarimu.”
“Bagaimana kau tahu?”
“Bayang pencariannya mendatangiku.”
“Itu hanya imajinasimu belaka.”
“Entahlah, tapi aku tidak ingin lagi meneruskan ini.”
“Sesungguhnya kau sedang meragukan penyerahanmu.”
Diam sesaat.
“Mengapa aku merasa pencarian Langit seperti upaya penyelamatan. Entah siapa yang ingin diselamatkannya, entah dirimu atau aku?”
“Penyelamatan dari apa?”
“Dari kesia-siaan. Terlalu naif bila kupertaruhkan penyerahanku dan berharap menemukan kehilanganku di masa lalu pada dirimu di masa kini. Juga tak akan kau temukan pada diriku penambal kesunyianmu. Ritual ini tidak akan memberikan apa pun, upaya pencarian yang sia-sia.”
“Atau sebenarnya kau sedang mengujiku? Penyerahanmu adalah upaya menakar keteguhan imanku dan aku gagal?”
“Aku tidak sedang melakukan ujian apa pun.”
“Menikahlah denganku.”
“Untuk apa?” sergah Tawangsri datar, nyaris dingin. “Apakah karena rasa tanggungjawabmu telah menjamahku, meskipun setengah jalan? Ketahuilah, dengan apa yang telah kita lakukan ini, bagiku tidak ada yang harus ditanggung dan tidak ada pertanyaan yang harus dijawab. Aku tidak sedang melakukan barter keperawanan sebagai upaya untuk mendapatkanmu. Aku bukan pula perempuan moralis yang menjauhkan diri dari hasrat demi penjagaan sebuah image.”
“Lalu apa arti semua ini?”
“Aku menginginkanmu. Pada kehangatanmu kutemukan kehilanganku akan sebuah patron. Berpikir tentang keberadaanmu, adalah sesuatu yang menenangkan. Lalu apakah itu akan lebih sempurna ketika kita saling menyerah pada kebersamaan? Mulanya kusangka begitu, tapi keliru, itu justru akan menjadi sebuah anti klimaks. Sesudah itu aku justru akan kehilanganmu, tergantikan nafsu belaka.”