Darah awal kegadisan itu datang pada suatu hari.
Pagi masih berkabut ketika itu, mengaburkan hijau rumpun bambu dari pandangan mata. Daun-daun bambu itu basah berlapis butiran embun. Ujung-ujung daunnya yang meruncing bergerak-gerak, tersentuh geliat angin sisa semalam, memunculkan suara gemerisik yang samar. Belum ada kupu-kupu yang menghampirinya. Agaknya pagi masih terlalu dingin, sisa udara malam, hingga membuat serangga-serangga cantik itu menunda kepak sayapnya untuk segera menemukan nectar, cairan manis yang dihasilkan bunga, sebagai sarapan tetapnya. Spesies itu memilih untuk berdiam di sarangnya atau bahkan masih bergelung di dalam kepompongnya.
Pagi itu Zhang Mey bangun pagi seperti biasa. Dibukanya selimut, turun dari ranjang, membuka jendela, berdiri beberapa saat di depan jendela sesudah itu, menahan sisa kantuknya, menghirup oksigen pagi yang lembut berkali-kali, lalu melamun sebentar.
Baginya pagi selalu menyenangkan. Dinginnya yang lembut, berbeda dengan dingin udara malam yang cenderung menggigilkan. Udaranya segar, serupa kesegaran oksigen yang terhirup dari tabung-tabung yang menyimpan oksigen murni. Kicau burung kenari terdengar nyaring. Celoteh burung-burung di dalam sangkar yang tergantung di teras loteng kamar papa itu, selalu terkesan lebih riang daripada kicau yang mereka celotehkan sesudah lewat tengah hari. Itu semua adalah ornamen-ornamen pagi yang menyenangkan, yang selalu tak hendak dilewatkan olehnya, betapa pun kantuk cenderung mengikatnya dalam tidur yang nyenyak.
Seringkali Zhang Mey membiarkan diri melamun terlalu lama di sisi jendela Atau memang sengaja menunggu mama, nenek atau mbak Rani mengingatkannya. Dari cara mereka mengetuk pintu, Zhang Mey bisa mendeteksi siapa yang sedang membangunkannya saat itu. Ketukan mama kasar, cenderung tidak sabar, terkesan memburu, tergesa-gesa, seperti khawatir segala sesuatu akan terlambat bila ritual pagi tak segera diselesaikan. Ketukan nenek lain lagi, lembut tapi berulang-ulang. Meskipun Zhang Mey sudah menjawab menandakan respon atas ketukan, ketukan itu akan kembali berulang sebelum pintu benar-benar terbuka. Namun tetap lembut ketukan itu, tanpa memburu, menampakkan kesabaran dan ketelatenannya dalam melakukan sesuatu. Mbak Rani, pembantu, memiliki irama ketukan pintu yang berbeda. Diketuknya pintu dengan gerak memukul yang memunculkan irama canda; dua nada berurutan cepat, berjeda sesaat, lalu berulang. Zhang Mey seringkali merasa lucu dengan ketukan itu, mengingatkannya pada suara-suara yang terdengar pada film-film kartun.
Pagi itu, sebelum ada yang mengetuk pintu kamarnya, Zhang Mey sudah mengakhiri lamunan paginya. Perutnya mendadak terasa aneh. Bukan karena gerakan peristaltik dinding usus yang mendesak feses untuk harus segera dikeluarkan, melainkan ada sesuatu yang terasa berbeda.
Zhang Mey segera bergegas keluar kamar menuju kamar mandi.
“Chao an (selamat pagi),“ salamnya menyapa nenek di ruang tengah.
“Chao an,“ balas nenek sembari sedikit heran melihat cucunya sudah keluar dari kamar sebelum diingatkan.
Lalu Zhang Mey menemukan darah itu, membercak pada baju dalam dan piyama. Perempuan kecil itu menjerit seketika. Bukan karena luka, sakit atau takut. Dia tahu tentang darah itu. Guru pelajaran biologi telah menjelaskan tentang ‘riwayat’ darah itu dan menjelaskan secara detil bahwa mereka, murid-murid perempuan akan mendapatkan giliran untuk menerima kunjungan awal darah itu pada suatu hari nanti.
Bagi Zhang Mey, inilah saatnya.
Jeritan Zhang Mey, yang diteriakkan sebagai ekspresi spontan, lebih karena munculnya semacam rasa tak rela bahwa saat itu telah tiba baginya. Seperti terenggut dari sesuatu yang selama ini memberikan lingkar perlindungan. Seperti harus melepaskan sesuatu yang sesungguhnya ingin terpegang erat selamanya. Seperti harus menjejakkan langkah pada suatu tempat yang tak hendak dituju.
Tapi tak terhindarkan. Ini adalah masa akil balik, awal mula pendewasaan yang tak bisa tercegah kehadirannya. Terbawa oleh usia, sesuatu yang tak terlawan dengan kekuatan, kamuflase ataupun teknologi apa pun juga.
Mama datang tergopoh, dengan segera menerobos pintu kamar mandi. Menduga Zhang Mey menemukan binatang kecil yang selalu menakutkannya. Tak terduga ternyata Zhang Mey menunjukkan piyamanya.
Sesudah itu giliran mama yang menjerit.
“Wo men te hai che, yek ching le (anak perempuanku sudah mens),” seru mama ekspresif.
Sedemikian rupa ekspresi itu membuncah terdengar pada segala sudut rumah. Seakan semua penghuni di rumah itu harus mendengarnya. Lebih mirip seperti pemberitaan sebuah pengumuman maha penting.
Zhang Mey terperangah, tak menyangka bahwa yang dialaminya harus disebarluaskan begitu rupa. Pipinya memerah dadu, paduan rona terkejut dan malu, juga risih karena semua tatap mata hari itu seakan terarah padanya, dilengkapi dengan senyum tersembunyi yang seolah menyiratkan sesuatu.
Tapi tak ada apa pun yang bisa dilakukannya, selain patuh. Karena sungguh ini adalah sesuatu yang sangat baru baginya, belum pernah teralami, dan tidak diketahuinya harus melakukan apa. Apa yang diketahuinya tentang proses itu sangat selintas, lebih berupa bisik-bisik yang tak jelas, serba praduga, serba membingungkan. Maka Zhang Mey memilih untuk patuh dan pasrah. Menyerahkan diri pada mama untuk mengantisipasi segala hal yang diperlukannya.
Lalu semua orang tampak sibuk.
“Cari ayam jago terbaik,” seru nenek menyuruh mbok Dirah pergi ke pasar dengan segera, “Akan kumasak ayam bumbu arak untuk Mey. Harus yang terbaik ayam itu. Sehat, gemuk, muda, bersih dan bagus warna bulunya. Harus kau pilih dengan teliti. Harga mahal tidak masalah,” pesannya wanti-wanti.
Mbak Rani mengganti sprei, tirai jendela dan membersihkan kamar Zhang Mey lebih rapi daripada hari-hari biasanya. Sarung bantal dan guling digantinya pula dengan warna-warna bunga.
Lalu mama memberikan seperangkat baju dalam baru, dengan tambahan ‘sesuatu’ yang menghambat keleluasaan gerak, yang berefek memperlambat gerak langkah Zhang Mey. Selanjutnya mama melarangnya ke luar rumah. Ada dispensasi hari itu untuk tidak masuk sekolah.
“Ingat ini,” kata Mama sungguh-sungguh. “Kau sekarang adalah seorang perawan, bukan lagi gadis kecil ingusan yang selalu ingin dan merasa boleh melakukan apa saja. Jaga segala sikapmu. Hanya satu kali kau menjadi perawan, harus kau jaga yang satu itu dengan sungguh sampai saatnya tiba.”
Zhang Mey menelan kalimat itu dengan kebingungan penuh. Saat apa yang akan tiba itu?
“Saat kau menikah nanti, ibu mertuamu akan menyiapkan sapu tangan putih untuk menampung darah perawanmu. Harus bisa kau buktikan bahwa itu darah pertamamu.”
Astaga. Zhang Mey terperangah. Seketika itu juga membayangkan luka selebar apa yang harus dialaminya sehingga cukup darah yang tertetes untuk membasahi sehelai saputangan putih. Demi sebuah bukti otentik bahwa dirinya adalah sungguh perempuan yang orisinil, belum terjamah, murni.
Zhang Mey ingat, dia cukup sering berdarah. Jemari mungilnya kerap tersayat pisau ketika bermain pasaran dengan teman-temannya. Dalam permainan itu tak terhindarkan penggunaan pisau untuk mengupas atau memotong sesuatu, entah sayur, bunga atau buah.
Kadang-kadang Zhang Mey tidak cukup berhati-hati, barangkali lebih karena rasa euforia, kegembiraan yang berlebih karena bisa bermain dengan sahabat-sahabatnya yang kemudian membuatnya tidak waspada pada ketajaman pisau. Maka jari tersayat pisau bukan lagi sesuatu yang aneh baginya, karena itu Zhang Mey tidak pernah merasa panik karenanya. Ketika darah merembes lambat pada jemari kecilnya, maka segera dikulumnya jari itu sesaat. Dihisap, perih sebentar lalu selesai. Nanti di rumah dilanjutkan dengan balutan selembar plester, yang diperbarui setiap usai cuci tangan dan mandi. Luka itu akan pulih dalam hitungan satu atau dua hari.
Itu cerita luka di seputar jari. Luka lain, di sekitar lutut dan betis, sudah tak terhitung lagi. Berulang kali Zhang Mey jatuh tersungkur karena terantuk batu atau tersandung sesuatu. Bahkan terjatuh dari pohon demi memetik sesuatu yang tak selalu berguna, sudah pula dialaminya beberapa kali. Semua peristiwa itu memunculkan lecet atau luka yang merembeskan darah. Tapi seingatnya, rembesan atau aliran darah dari luka-luka itu tidak akan cukup banyak untuk membasahkan sehelai kain putih.
Luka-luka yang cukup menyakitkan. Apalagi bila harus terjatuh di antara batu berpasir, aduh, itu akan mengakibatkan luka parut yang perih sepanjang malam, meskipun tidak akan membuatnya menangis. Jadi tak terbayangkan oleh Zhang Mey, luka sedalam apa yang harus digoreskan padanya hingga tertetes cukup darah untuk membasahi kain putih. Lalu, di bagian tubuh mana pula luka itu harus dibuat? Tangan, kaki, atau apa? Seberapa perih rasa kesakitan yang harus ditanggungnya nanti?
Yang terbayang kemudian adalah kengerian. Gamang. Keraguan itu lalu menyergapnya dan membawanya pada langkah yang enggan. Sesaat terbesit, andai tersedia pilihan dan boleh memilih pasti akan dipilihnya sebuah jalan untuk tidak menjadi ‘perawan’, melainkan memilih untuk bertahan sebagai kanak-kanak. Bertahan untuk tetap menempatkan diri pada lingkar dunia perempuan kecil, dengan langkah-langkah muda penuh semangat, tanpa beban dan prasangka apa pun juga. Lingkar dunia dengan ornamen riang belaka, berisi aneka bunga beragam warna, kepak sayap kupu-kupu, butiran cahaya kunang-kunang, kembang gula manis beragam bentuk, berbagai mainan lucu dan tawa berderai yang tak berkesudahan serupa kicau burung.