Pada suatu siang, entah hari yang ke berapa.
Zhang Mey menutup bukunya dengan enggan. Perasaan jemu menguasainya, memunculkan rasa malas yang sedemikian kuat menindas minatnya untuk melakukan apa pun. Sudah berhari-hari perasaan semacam itu datang, tak dimengertinya darimana rasa itu berasal. Seakan begitu saja menyergap, membekuk lalu sedemikian rupa menyanderanya pada sesuatu yang tak menawarkan kompromi tebusan. Mengapa datang perasaan serupa itu? Sementara tak dilakukannya apa pun yang sekiranya memancing kedatangan segala rasa enggan dan jemu itu. Hari-harinya berlalu seperti biasa sebelum ini, seperti hari-hari yang telah lewat dan semestinya akan dilaluinya.
Atau justru keengganan itu datang karena segala sesuatu terlalu biasa? Zhang Mey angkat bahu. Seakan menjawab ‘tak tahu’ pada dirinya sendiri. Sesaat kemudian dilepaskannya tatap mata, melewati kaca tipis tembus pandang. Dan serakan awan-awan di bentangan langit berada pada jarak jangkauan pandangannya.
Awan-awan itu putih, serupa bongkahan kapas yang berserakan, bergerak perlahan seakan menuju pada sebuah arah. Sebuah ingatan tentang pelajaran ilmu bumi di sekolah dasar melintas begitu saja. Membawa cerita tentang bagaimana awan-awan itu bermula. Sinar panas matahari menguapkan air dari berbagai permukaan bumi. Air laut atau danau, butiran embun di dedaunan dan batang pohon, bahkan helai-helai kain basah yang tergantung di jemuran. Uap itu bergerak naik, mencari kelompoknya pada suhu udara di ketinggian tertentu membentuk awan. Itulah yang terlihat sebagai gugusan awan berserakan. Lalu angin akan menggiringnya pada sebuah perjalanan menemukan tempat bersuhu rendah yang kemudian mengubahnya kembali sebagai air dan menyerah pada daya gravitasi bumi dan meluncurlah mereka sebagai tetesan hujan, kembali pada bumi dan menjadi air yang membasahkan. Ada yang kembali pada sungai, tanah, sebagian lainnya terperangkap pada kubangan buntu. Ada pula yang beruntung menemukan sejumlah besar teman-temannya yang bergerak bebas merdeka di lautan dan melambungkan diri sebagai gelombang ombak, meski begitu jauh mereka kini dari tempat asalnya.
Sebuah proses perjalanan telah terlewati. Sepenggal perjalanan tentang air. Suatu proses berulang yang akan terjadi selama bumi berputar, sedemikian rupa sampai batas waktu yang tak diketahui.
Akan begitu pulakah hari-hariku? Zhang Mey mendadak berhadapan dengan sebuah pertanyaan. Berulang-ulang serupa yang sudah terlalui? Ah, mengapa mendadak seperti ragu? Bukankah sudah terjalani pengulangan itu dalam sekian hari yang tak terhitung dalam lebih dari dua puluh tahun ini? Mengapa baru sekarang muncul keraguan pada hari-hari selanjutnya? Padahal, apa sulitnya menjalani sesuatu yang berulang seperti biasa?
Lalu Zhang Mey mendapati sesuatu yang menggelikan pada dirinya. Ragu dan bosan pada sebuah kehidupan yang begitu muda, yang justru seharusnya menjadi masa-masa puncak kegairahan.
“Kau gelisah,” Tenggar menatapnya lurus dari seberang meja, “Ada apa?”
“Bukan gelisah, tapi bosan, jemu.”
“Oh, dear darling, maafkan aku,” Tenggar terkejut, suaranya menyerukan rasa bersalah. “Aku menelantarkanmukah? Kukira kau membaca buku.”
“Tidak, bukan karena itu. Selesaikan saja dulu apa yang kau kerjakan.”
“Tidak terlalu mendesak. Akan kulanjutkan nanti,” sesaat Tenggar mematikan komputer, lalu merapikan meja.
“Nah, mengapa mendadak jemu?”
“Entahlah. Barangkali hidup terlalu datar akhir-akhir ini.”
“Kau memerlukan tsunami atau badai?”
“Jangan, itu akan memporakporandakan aku. Yang kuperlukan hanya sekedar gerimis tipis atau langit tersaput mendung sesekali.”
“Pilihan metafor yang muram. Bagaimana kalau cahaya matahari pagi hari yang membawa kilau kabut yang mengkristal.”
Zhang Mey tersenyum samar.,“Itu ornamen yang menemani lamunanku setiap pagi.”
“Ritual khas itu, apakah kau simpan aku dalam lamunan pagimu?”
“Kadang-kadang.”
“Bagaimana aku dalam lamunanmu?”