“Zhang,” panggil Mama suatu sore, sembari mematut diri di depan cermin.
“Ya?” Zhang Mey berdiri di depan pintu kamar yang terbuka.
“Kau di rumah ya, ambil alih tugas Mama menerima setoran becak sore ini. Mama ada arisan.”
Zhang Mey mengiakan.
“Buku catatan setoran ada di meja depan. Jangan lupa mengingatkan mereka untuk mengangsur pinjaman,” lanjut Mama.
“Ya.”
“Catat semua setoran sewa becak pada buku itu. Jangan digabung dengan setoran angsuran pinjaman. Kalau ada yang mau pinjam uang lagi, jangan kau beri, katakan saja itu urusan Mama.”
“Banyakkah hutang mereka?”
“Yah begitulah. Kalau dituruti ya banyak, tapi Mama batasi hanya seperlunya saja. Repot nuruti para tukang, kalau urusan hutang sangat rajin tapi giliran bayar malasnya bukan main.”
“Barangkali saja memang belum ada uang untuk membayarnya,” tukas Zhang Mey. “Dengan penghasilan yang hanya sejumlah itu, tanpa harus bayar hutang pun, pasti mereka sudah jungkir balik mencukupkan uang itu untuk makan sehari-hari.”
“Tapi bayar hutang itu kewajiban, bukankah mereka sendiri yang menciptakan hutang-hutang itu?”
“Memang begitu, tapi pasti ada keterpaksaan yang melatari terciptanya hutang-hutang itu. Kalau tidak karena terpaksa, tak mungkin orang sengaja bikin hutang.”
“Ah, apa yang kau tahu? Iniren memang begitu.”
“Ma, ini bukan soal iniren atau congkuokren (orang China), melainkan karena tekanan ekonomi. Keterbatasan finansial itu universal, semua orang yang berada pada level marginal pasti mengalaminya, tanpa peduli suku, gender, atau aliran politiknya.”
“Itu teori yang kau pelajari di buku, yang kau tahu dari dosen-dosenmu. Tapi realisasi di kehidupan nyata, Mama lebih tahu.”
“Tapi,” bantahan Zhang Mey terhenti.
Papa muncul dari balik ruangan dan menggerakkan tangan sebagai isyarat bagi Zhang Mey untuk menghentikan bantahannya.
“Sudahlah, kalian selalu seperti itu,” katanya setengah mengeluh. “Memperdebatkan sesuatu yang tidak terlalu membawa manfaat bagi diri kalian sendiri. Tidak dalam segala sesuatu kalian harus memiliki pendapat yang serupa, berbeda pemikiran itu biasa, terjadi pada banyak orang, antara satu orang dengan yang lain. Tapi perdebatan kalian selalu memicu pertengkaran yang tak perlu.”
“Anak perempuanmu ini memang makin pandai membantahku,” keluh Mama “Makin tinggi sekolahnya, makin lihai bantahannya.”
“Bagian dari hasil karyamu,” Papa bergumam tenang. “Sejak awal taman kanak-kanak sampai universitasnya sekarang ini, kau yang selalu memilih sekolah terbaik untuknya. Jadi kalau dia sepandai ini, bukankah itu harapanmu terhadapnya?”
“Tapi maksudku….”
“Maksudmu, kau ingin dia sejenius pemenang nobel tapi sepenurut robot dengan remote control kendalinya ada di tanganmu?”
Seketika mata Zhang Mey berpendar mendengar kalimat ayahnya. Bagaikan mendapat hembus angin kemenangan, dengan segera dilakukannya gerak-gerak kaku serupa robot berjalan.
“Baiklah Mama, aku akan patuh padamu,” katanya dengan nada suara meniru suara robot seperti yang tervisualisasi di beberapa film.
Mata mama melotot, menyiratkan kedongkolan, bukan pada Zhang Mey si pembuat ulah, melainkan pada ayahnya. Di tempatnya berdiri ayah menghela napas dengan tatapan tak berdaya, senyum tersimpan pada kerling matanya. Lalu sebelum kekesalan hati istrinya meninggi segera digandengnya tangan istrinya untuk segera berangkat, menjauh dari Zhang Mey.
Apa yang dilakukannya agaknya bukanlah sesuatu yang langka. Rasanya milyaran ayah di dunia ini akan melakukan tindakan serupa. Ayah mana yang tak akan membela, melindungi anak perempuannya dari kemarahan siapa pun? Sekali pun itu kemarahan dan serangan lembut dari ibunya sendiri? Ayah Zhang Mey hanyalah satu dari sejumlah besar ayah-ayah serupa itu di dunia ini. Dan Zhang Mey adalah anak perempuan yang tahu betul memasuki celah kelemahan ayahnya.
*
Pak Sosro, penyewa becak muncul di ambang pintu garasi, pintu yang dipergunakan untuk menerima para tukang becak ketika datang pagi dan sore hari. Mereka adalah para pengayuh becak yang menyewa kendaraan beroda tiga itu dari keluarga Zhang Mey.
Beberapa penyewa mendapat fasilitas untuk membawa becak itu pulang, biasanya adalah mereka yang sudah berpuluh tahun menjadi penyewa pada satu pemilik becak. Sebagian lainnya, biasanya penyewa baru, harus mengembalikan becak-becak itu setiap sore hari dan mengambil kembali esok harinya. Biaya sewa becak dibayar setiap hari, umumnya sore hari seusai mereka mengayuh becak itu seharian.
Kadangkala ada pengayuh becak yang tak beruntung mendapatkan penumpang sehingga tak bisa menyetorkan biaya sewa becak. Ada juga yang mendapatkan penghasilan tak memadai sehari itu sehingga habis untuk biaya makan bagi keluarganya di rumah dan tak tersisa untuk disetorkan pada pemilik becak. Beberapa di antaranya ada juga yang bermental tak bisa diharapkan, lebih sering mempertaruhkan penghasilannya untuk permainan domino dan judi di antara komunitas tukang becak.
Untuk mereka yang tak mampu memberikan setoran sesuai biaya sewa yang telah ditentukan inilah, ibu Zhang Mey mengkategorikan biaya sewa yang belum terbayar sebagai hutang. Nyaris semua penyewa becaknya pernah tercatat di buku hutang itu. Beberapa di antaranya bahkan tercatat sebagai nama penghutang abadi, pemilik sejumlah hutang yang tak pernah lunas. Pak Sosro termasuk sebagai debitur abadi itu. Bulan ini mampu melunasi pinjamannya, tapi dipastikan bulan berikutnya akan terdaftar kembali dengan jumlah pinjaman yang baru. Begitu berulang-ulang hingga bertahun-tahun.
“Non Zhang,” sapa pak Sosro, agak terkejut melihat putri juragannya yang bertugas menerima uang setoran sewa becak sore itu. Pada awal masa sekolah Zhang Mey dulu, pak Sosro-lah yang bertugas mengantar gadis kecil itu setiap pagi.
“Pak Sosro, lama tak bertemu? Sehatkah?” sambut Zhang Mey.