Langit tersaput mendung, menebar warna kelabu. Gugusan mendung itu serupa perisai yang menyelubungi cahaya garang matahari. Ketika kegarangan matahari itu terhalang, maka yang tersisa adalah udara sejuk yang samar. Udara serupa itu tak layak dilewatkan begitu saja. Semestinya dinikmati, sebelum gerimis atau bahkan hujan merenggutnya.
Zhang Mey duduk di ujung batu, pada suatu tempat di bawah rindang rumpun bambu. Gemerisik helai daun bambu yang saling bersentuhan, seakan menggumamkan sajak-sajak penyair dari negeri yang jauh entah di mana. Bagai menikmati sajak yang tak terpahami itu, Zhang Mey membiarkan diri berada di tempat itu, tanpa menyimpan rasa keinginan untuk pulang. Sebuah keengganan mengikatnya untuk tetap berada di tempat itu, menjauh dari suatu tempat bernama rumah di mana salah satu penghuninya akan mengingatkannya pada sebuah pertengkaran yang tak hendak diulangnya. Baru beberapa saat peristiwa itu terjadi, tapi semampunya ingin dianggapnya sebagai sebuah masa silam, yang tak berjejak. Tapi bisakah?
Masa lalu, meski silam, tetaplah merupakan sejarah yang terlanjur berjejak dan meninggalkan pertanda untuk sebuah napak tilas yang entah kapan ditelusuri. Tak terbayangkan olehnya, dengan pilihan sikap yang dianut ibunya, bagaimana mungkin membawa Tenggar kepada mereka? Bisa dipastikan akan memunculkan goncangan-goncangan entah berapa skala richter.
Tak terelakkan bahwa setiap kapal akan mengarungi badainya sendiri, dan siapa bisa menghentikan badai atau meredakan hujan? Tak ada. Disadarinya satu hal, bahwa dirinya belum siap menghadapi badai itu, maka yang terbaik adalah menunda keberangkatan pelayaran, dan menambatkan kapal untuk sebuah waktu yang tak terjelaskan batasannya.
“Apa yang kau pikirkan?” sebuah pertanyaan mendadak menyela gemerisik bambu.
Zhang Mey menoleh, berjarak beberapa meter dari tempatnya duduk, dilihatnya Tenggar melangkah mendekat.
“Mempertimbangkan waktu yang tepat untukku?”
“Tidak,” Zhang Mey menggeleng sekilas.
“Tidak?” ulang Tenggar tak yakin. “Tapi kau sangat gelisah. Gerangan apa yang bisa lebih menggelisahkanmu dari apa yang sedang kita hadapi?”