Berapa lama seseorang mampu menahankan dirinya pada sebuah persembunyian bernama rahasia? Rahasia seringkali bahkan lebih rapuh daripada gelembung sabun, yang menggelembung licin, berkilat-kilat, melayang sesaat lalu pecah melepaskan apa yang tersimpan di dalamnya.
Banyak yang ingin mempertahankan sebuah kerahasiaan, lebih banyak yang gagal. Menyadari kerapuhan itu maka Zhang Mey menyadari bahwa harus ditempuhnya jalan itu suatu kali nanti. Sekarang atau nanti hanyalah sebuah pilihan. Pada suatu hari dipecahkannya gelembung itu.
Tidak ada bulan malam itu, bintang pun entah di mana. Tapi langit bercahaya, tanpa pekat yang gulita. Kadang-kadang seperti itu, ada kalanya langit menyimpan cahayanya sendiri, yang kemudian dipendarkannya kala bulan menjauhinya.
Zhang Mey menyelesaikan seduhan teh-nya. Dituangkannya dengan rapi pada cangkir porselin putih berlukis daun anggur. Sesaat asap tipis bergerak samar di seputar cangkir, menebarkan aroma teh hijau yang khas. Lalu dengan sigap dibawanya cangkir itu ke beranda belakang. Di beranda itu, ayahnya sering menikmati malam berlangit serupa ini.
“Jing hek ja (silahkan minum teh), Papa. “ Zhang menyuguhkan teh.
“Sie-sie (terimakasih).“ Papa tersenyum menerima teh.
“Sie sie ni (terimakasih kembali).”
“Papa selalu suka teh seduhanmu. Paduan manis, sepat dan hangatnya selalu pas. Entah bagaimana caramu melakukannya,“ puji Papa mereguk teh.
“Mudah saja, lakukan dengan senang hati maka…woyla…jadilah teh tersedap ala Zhang Mey.” dan digerakkannya tangan serupa pesulap.
Papa tertawa melihatnya.
“Kau tahu, dengan dirimu yang seperti inilah yang membuatku tidak pernah menyesal tidak memiliki anak laki-laki.“
“Sungguh?”
Papa mengangguk pasti.
“Sekalipun karena itu marga keluarga ini tidak bisa berlanjut?”
“Tak apa,“ papa menggeleng pelan. “Jaman sudah berubah, mayoritas congkuoren di sini sudah mengganti nama cinanya dengan nama Indonesia. Anak-anak mereka bahkan sudah tidak mempunyai nama cina lagi, jadi she (marga) tidak lagi jadi petunjuk keturunan yang utama. Lha piye, she kok dialihbahasakan? Kho menjadi Kosasih. Liem menjadi Salim. Lebih sekedar supaya terdengar sebagai suatu pengucapan yang sama, tanpa peduli pemaknaan marga itu yang sebenarnya. Penyederhanaan yang salah kaprah, akhirnya justru menjadi penamaan yang tak jelas garisnya.“
“Itu penyesuaian. Orang cina itu serupa bunglon, cenderung beradaptasi diri sesuai tempat di mana ia menjadi, khususnya dalam beberapa hal. Menjadi imigran di Amerika, akan dimilikinya nama ala Amerika, sekalipun tetap makan dengan sumpit dan bunyi kecipak mulutnya. Begitu juga ketika lahir di negri ini, bernama dan berbahasa daerah setempat.“
“Berbeda dengan perantau India atau Arab, di mana pun mereka menetap, ciri khas nama mereka tetap bertahan.“
“Bayangkan kalau seorang India bernama Kapoor Barasjh misalnya, maka demi penyesuaian itu tadi maka ia akan menamakan dirinya Kapur Barus.“
“Betapa konyolnya. Itu kelemahan karakter atau keluwesan beradaptasi?”
“Barangkali itu semacam kebimbangan terhadap akar diri.“
“Maksudnya?”
“Ada generasi yang terlahir pada suatu masa saat istiadat budaya cina disamarkan sebagai akibat sikap represi sebuah rezim, sehingga tak tertanam akar budaya itu seutuhnya. Meski tak ada lagi rezim itu, tapi keterasingan terhadap akar itu tetap berlanjut. Sementara pada lingkungan sosial, tak terhindarkan kenyataan bahwa secara fisik memang ada perbedaan itu yang diakui atau tidak memunculkan rasa asing satu sama lain. Pada beberapa orang, sikap ini bisa sangat ekstrim yakni saling membatasi diri, saling merasa tertolak atau menolak.”