Zhang Mey menemukan rumah itu bercahaya semu.
Sesuatu yang redup nampak membias dari ruang-ruang yang ada di dalamnya. Bukan karena sinar lampu yang terhadang tirai penutup jendela kaca, bukan pula karena rambatan tanaman Russian Vine yang memenuhi pergola sehingga menghalang cahaya bulan untuk menyentuhnya. Bukan karena itu. Cahaya semu yang terpancar lebih karena perasaan suram yang tak terjelaskan. Barangkali serupa harapan yang memudar, seperti nyala lilin yang meredup ketika ujung sumbu tak tersisa lagi. Seperti bayang mimpi yang menjauh ketika tidur berakhir.
Mata Zhang Mey berkabut sesaat.
Berulangkali dirambahnya rumah itu, tidak pernah dibawanya kegetiran yang sekarang ada padanya. Sejak dini menyimpan penghuni rumah itu di dalam hatinya, sudah diketahuinya bahwa mimpi yang dibawanya akan menjauh suatu kali. Tapi tidak diduganya bahwa secepat ini mimpi itu meninggalkannya. Sementara sesungguhnya masih ingin ditimangnya mimpi itu dalam dekapan, masih ingin diresapinya buaian yang meski semu, namun membahagiakan.
Sesaat kemudian dibukanya pintu.
Ruangan itu masih serupa yang selalu dilihatnya. Deretan buku, asbak dengan beberapa puntung rokok berserpih abu, mug dengan sisa kopi yang bisa dipastikan pahit tak bergula sehingga tak menarik minat semut untuk merubungnya. Rupanya hari berjalan seperti biasa di dalam rumah ini, sama seperti ratusan hari yang telah lewat dan barangkali ribuan hari yang akan terlalui.
Lalu disadarinya bahwa barangkali dirinya terlalu naif, mengira akan menemukan sesuatu yang dramatik, semacam hati yang porak poranda seperti yang terjadi pada dirinya beberapa hari ini. Sudahlah. Bukankah setiap orang memiliki cara sendiri untuk mengatur gerak perasaannya. Ada beberapa yang pandai menampilkan sebuah pentas yang heroik, seperti yang lazim ditampilkan pada politisi ketika terbongkar tindakan busuk masa lalunya. Ada yang mengharu biru dengan dramatisasi air mata untuk menjaring simpati. Ada apa saja.
Kalau kemudian di rumah ini tidak ada pentas heroik atau pun dramatisasi porak poranda, melainkan kenormalan semata, maka itu adalah sebuah kejujuran. Bahwa segala sesuatu berlangsung apa adanya. Matahari tetap bersinar sepanjang siang, air sungai tetap mengalir dengan arusnya dan angin berdesir sesekali. Tanpa ada pentas heroik, tanpa perlu dramatisasi. Seharusnya memang begitu.
Lalu didorongnya pintu sebuah ruang. Cahaya samar membantunya menemukan sebuah sosok yang tertidur meringkuk pada suatu sudut. Disibaknya tirai jendela, membiarkan cahaya bulan masuk lebih leluasa, memberikan penerangan yang lebih memadai baginya untuk meneliti sosok yang tidur itu.
Dinikmatinya pemandangan itu. Menatap lamat seorang laki-laki dalam tidurnya. Seperti mengikuti mimpi yang membayang pada perjalanan tidur itu. Gerak nafas teratur yang mengiring tidur itu, serupa ilustrasi yang bercerita dengan caranya sendiri tentang arus perjalanan yang diam.
Apa yang terbawa dalam tidur itu? tanya Zhang Mey dalam keheningan. Hanya pulas semata-mata atau ada suatu mimpi di dalamnya? Mimpi yang berwarna atau sephia? Di antara semua itu, adakah aku melintas di dalamnya? Sama seperti dia melintas-lintas dalam semua ruang mimpiku?
Lalu begitu saja tubuhnya bergerak. Dihampirinya tubuh yang tidur itu, dikecupnya sepasang mata yang terpejam dengan segala daya kelembutan yang tersimpan di dalam dirinya. Sesaat mata yang terpejam itu bergerak. Begitu malas gerak itu, seakan tiada energi yang menyertai. Tapi ketika mata itu sepenuhnya terbuka dan menangkap sosok Zhang Mey di dalamnya, maka Tenggar langsung terkesima.
“Astaga, selarut ini? Apa yang kau lakukan? Melarikan diri dari rumah?” serunya terkejut.
“Kau mau aku melakukannya?” Zhang Mey balik bertanya.
Tenggar menggeleng. “Untuk saat ini, belum kupunya amunisi apa pun untuk melarikanmu“
“Baiklah, mungkin suatu hari nanti.“
Tenggar terdiam. Kalimat itu baginya terdengar ringan, tapi ada nada kepahitan yang terjejak jelas di sana. Kepahitan yang sama juga terjejak di dalam dirinya.
“Kapan berangkat?”
“ASAP, as soon as possible.“
“Universitas apa yang mereka pilih untukmu?”
“Tidak tahu.“
“Visa-nya sudah beres?”
“Mungkin.“
“Tiket pesawat?”
“Entahlah.”