Dipan itu terselubung kelambu tipis. Berwarna putih tembus pandang, menampakkan sepasang bantal bersarung renda yang tertata rapi di dalamnya. Kelambu beserta apa yang ada di dalamnya nampak lembut, berhias kuntum-kuntum bunga kecil yang menebar harum samar-samar. Pasti hangat berada di dalamnya, serasa berada dalam sebuah dekapan seseorang.
Seseorang.
Zhang Mey tercekat. Ditolehnya sesaat seseorang yang berada didekatnya. Disadarinya betapa dirinya berpikir tentang seseorang yang lain. Seseorang yang tumbuh dalam ingatan. Seseorang yang mengakar dalam benak. Seseorang yang setiap pelukannya seakan tak ingin terlepaskan. Seseorang yang entah di mana.
Kelambu tipis itu tersibak, lalu Zhang Mey merasa sebuah sentuhan lembut meraih bahunya dan menuntunnya melewati tirai terbuka itu. Tak berdaya, dipatuhkannya diri dalam tuntunan itu. Menyadari sepenuhnya bahwa tak ada hak baginya untuk melawan. Apa yang sudah ditentukan, itulah yang harus dilaluinya, dengan atau tanpa kemauan.
Zhang Mey memejamkan mata.
Melepaskan dirinya terhanyut pada sebuah arus yang menggelegak dan menenggelamkan tanpa perlawanan. Menit berlalu dan membawa Zhang Mey pada sebuah keinginan untuk menjerit. Begitu meluap keinginan itu, menggiringnya pada tepi-tepi pertahanan diri. Nyaris tak tertahan. Tapi kemudian ditelannya jerit itu sendirian, menyisakan nafas lirih yang mengambang, menahan sesuatu.
Jerit terpendam Zhang Mey bukanlah karena sebatang lunak namun liat menembus dirinya melalui celah yang terbuka. Bukan oleh rasa perih yang muncul karenanya. Bukan oleh rasa takjub atas sensasi yang menjalar karena kehadiran benda asing tersebut. Melainkan lebih karena rasa tragis menyadari bahwa tugasnya sebagai perempuan yang perawan telah tuntas. Paripurna. Sempurna. Welldone.
Telah diselesaikannya kewajibannya dengan sempurna, mempersembahkan darah perawan, atas nama tradisi, kepada suami yang terpilih untuknya.