Empat perempuan menguak pintu pagar. Berderak bambu itu kala bergerak terbuka, memberi ruang bagi pembukanya untuk memasuki pelataran yang tersimpan di baliknya. Pelataran yang dikelilingi oleh perdu dan semak yang tumbuh dengan segala keliarannya.
Kebun itu masih seluas seperti di masa lalu, dengan jajaran pohon yang sama di beberapa sudutnya. Pohon-pohon yang menua dengan akar-akar yang menjalar kuat di seputarnya. Tidak banyak yang berubah, puluhan tahun seakan tak bermakna di kebun yang tidak pernah mereka ketahui siapa pemiliknya.
Hanya saja bagi mereka, para perempuan itu, kebun itu kini terasa lebih kecil dibandingkan dengan yang mereka temukan di masa lalu. Perasaan relatif yang akan selalu muncul setiap kali seseorang menemukan kembali sesuatu yang pernah menjadi bagian di masa kanak-kanaknya.
Lalu déjà vu. Kilasan masa lalu itu datang memanggil-manggil, mengalirkan kenangan masa silam serupa lembaran buku lama yang selalu menarik untuk dibaca ulang. Membawa seseorang menelusuri kembali perjalanan yang pada suatu masa pernah dilalui, entah dengan airmata dan gelak tawa, persahabatan juga perseteruan. Perjalanan yang tak hendak dihapus dari ingatan.
Ada pohon jati di dekat pagar. Lingkaran batangnya hampir dua kali lipat dari yang dulu. Menjulang tinggi tampak kuat dan kokoh. Berapa tahun usia pohon itu? Betapa berbeda manusia dengan pohon. Manusia termakan usia, bertambah umur akan makin merapuh tubuhnya. Sementara pohon, justru makin menguat akarnya.
Gendhing melihat dirinya sendiri yang terengah dan pipi Zhang Mey yang memerah. Kulit oriental sahabatnya itu agaknya mulai menipis sehingga tak bertahan menghadapi sinar matahari. Sementara dirinya sendiri, alangkah pendek napasnya kini, sedemikian terengah napas itu setelah menempuh jarak yang hanya beberapa langkah.
Alangkah jauh berbeda dengan masa kanak-kanak dulu. Ketika itu mereka seharian bermain di kebun ini, berlarian atau pasaran dan diguyur sinar matahari yang sama, tanpa harus merasa kelelahan. Kini, hanya beberapa langkah menerabas semak, mereka berempat masing-masing harus menata napas yang memburu dan peluh yang membasah.
Gendhing masih menatap pohon jati. Berapa tahun usia pohon itu? Adakah 50 tahun? Atau seratus? Seingatnya pohon itu telah ada sejak pertamakali dikunjunginya kebun ini. Kini makin liat, geliat akarnya makin kokoh menyangga batang yang meninggi. Jati itu tidak rapuh terlawan usia. Dia hanya akan roboh oleh serbuan rayap atau ditebang tebasan gergaji ulah manusia.
Gendhing mendekat, menyentuh jati itu perlahan.
“Jangan biarkan dirimu tertebang,” katanya tanpa suara, “Itu akan membuatmu terpisah dari akarmu, kau akan berhenti tumbuh dan kehilangan napas dari daun-daunmu. Kau tak akan pernah menjadi dirimu sendiri lagi. Manusia akan menjadikanmu entah perabot apa, yang harus pasrah diletakkan di mana pun, entah sebagai dipan, kursi atau pintu. Barangkali serupa itulah diriku bila dulu kubiarkan Indragiri ‘menebangku’, menyerahkan fungsi diriku untuk dipergunakan sesuai kehendaknya.”
“Telah kujaga diriku, maka jagalah dirimu juga,” kata Gendhing lagi, sepenuh hati. Seakan sungguh-sungguh berpesan pada seseorang yang sangat dikasihinya.
“Aku tidak akan pernah melupakan kebun ini,” Zhang Mey menatap berkeliling, matanya menyapu segala sudut, seakan tak membiarkan satu celah pun terlewatkan.
Gendhing terkejut, tercerabut dari kebersamaannya bersama pohon jati. Ditepuknya pohon itu sesaat sebelum mengikuti langkah Zhang Mey yang menggandengnya menelusuri semak-semak. Remahan semak beterbangan terlempar oleh ayunan kaki mereka. Beberapa di antaranya melekati rok bagian bawah yang melambai.
“Kau akan menuju sebuah negeri yang tak tertandingi keindahan alamnya. China memiliki Jiuzhaiguo yang dianggap penjelmaan taman Eden, atau Zhangjiajie dengan ketinggian cadas-cadasnya yang berlapis misteri. Yakin bahwa kebun ini bertahan di antara kekagumanmu terhadap alam baru yang akan kau datangi nanti?” desis Gendhing meragukan.
“Yakin,” Zhang Mey memastikan. “Alam China barangkali akan mempesonaku, tapi yang tersimpan di benakku tetap kebun ini. Begitu banyak kenangan tersimpan di sini, makna yang tertanam akan senantiasa mengendap, tak tergantikan dengan pesona lain.”
“Aku ingat, dalam setiap permainan kau selalu bersedia menjalani peran apa saja, berperan sebagai bakul atau anak sama menyenangkannya untukmu,” Ranting menggamit lengan Zhang Mey sembari berusaha memperlambat laju langkah mereka.
Ranting bisa merasakan ketergesaan Zhang Mey. Atau kegugupan? Ranting tahu, perjalanan ini bagi Zhang Mey seperti sebuah ritual ziarah ke makam leluhur untuk pamit menyeberang lautan menuju sebuah negeri yang jauh. Semestinya dilakukan tanpa grusa-grusu, hingar-bingar apalagi terpaksa, walau sebenarnya benak sudah beberapa puluh kayuh di depan sana. Ziarah ke makam leluhur bukanlah sekedar tradisi ritual, melainkan sekaligus keyakinan demi keselamatan di seberang. Zhang Mey seperti sedang berziarah, bukan hanya sekedar menyerap semua kenangan hingga setiap kepingya –indah atau pahit- seperti yang dilakukan Ranting, Gendhing dan Tawangsri.
“Sesungguhnya aku justru sedang menirumu. Bagiku kau selalu menjadi yang paling penurut, tanpa bantahan berarti untuk menolak permainan yang tak kau pilih,” langkah Zhang Mey melambat, menatap Ranting lembut.
Ranting tertawa. “Begitukah? Kau tahu, itu karena Tawangsri selalu mendominasi. Kalau aku menurut, sebenarnya supaya tak perlu berdebat dengannya karena dia selalu memenangkan setiap perbantahan.”
“Apa katamu?” Tawangsri melirik tajam. “Bukannya kau selalu menikmati peranmu sebagai pembeli? Itu peran favorit yang memungkinkanmu untuk berbelanja dan membeli apa saja?”
“Kau selalu menjadi pembeli yang ngawur,” sambung Gendhing menyimpan senyum. “Segala hal kau beli tanpa menawar, apa saja kau borong, meludeskan bahan pasaran.”
“Apa salahnya, lha wong cuma uang kereweng. Mumpung bisa kubeli segalanya.”
“Nah itu, kau menghilangkan seni permainan. Seharusnya tetap ada proses tawar menawar sehingga makin menggairahkan permainan pasaran itu selayaknya simulasi kenyataan.”
“Ah, tak kalian pahami betapa betapa ajaibnya bagiku mempunyai kesempatan untuk menempatkan diri pada sebuah angan-angan dan mengesampingkan sesaat dunia nyataku.”
Ranting memang sering berusaha menembus dinding keterbatasannya, namun selalu siap meredam langsung dampak kejutannya. Ranting senantiasa sadar bahwa betapa pun seru permainan yang mereka lakukan namun tidaklah otomatis membuatnya lepas dari dinding keterbatasan. Baginya, membeli sebanyak mungkin itulah kenikmatan permainan karena dalam kehidupan nyata praktis tidak pernah mampu dibelinya apa pun. Ranting seakan ingin melempar uang kepada para pedagang di pasar, memilih apa pun yang disuka dan membawa pulang segala yang diinginkannya dalam tas-tas belanjaan yang tak terhitung. Pahitnya, ketika bermain pun ketiga temannya masih membangun garis-garis keterbatasan di sekelilingnya.
Ah, sudahlah. Ranting menghentikan sesal masa lalunya. Barangkali itu adalah upaya naluriah teman-temannya untuk berusaha melindunginya dari gelombang mimpi yang melewati batas. Gerak kekanakan para sahabat belianya untuk tidak membiarkannya berjalan terlalu jauh pada imajinasi semu yang bisa menyesatkannya.
Ranting tak memungkiri bahwa dulu itu sesekali ia terganggu dengan Tawangsri yang selalu menjadi penentu dalam setiap permainan. Juga kesal pada Zhang Mey yang tidak berani menentang secara terbuka. Setelah Tawangsri menjadi mahasiswa, Ranting kadang bersimulasi, seandainya mereka bertemu pada usia 20 tahun, apakah mereka semua akan berteman dekat seperti sekarang? Apalagi dengan pikiran-pikiran Tawangsri yang terasa makin jauh dari jangkauannya.
Entahlah. Ranting menjauhkan pertanyaan itu. Dia mensyukuri apa yang dimilikinya saat ini. Adalah jalin-jalin rasa kepemilikan antara dirinya, Tawangsri, Gendhing dan Zhang Mey yang hendaknya tak putus oleh pedang setajam apa pun, apalagi hanya sekedar rasionalitas manusia.
“Andai bisa menjadi anak-anak selamanya.”