Senin, 22 Januari 2002 menjadi hari paling kelam dalam hidupku. Garis berwarna kuning dan hitam serupa pita plastik tipis mengelilingi rumahku yang besar. Tidak terasa waktu berlalu dengan cepat dan tiba pada masa dimana saat ini usiaku sudah 34 tahun.
Aku lahir dari keluarga yang berkecukupan, lebih dari cukup. Ayah dan Ibuku sudah sangat menanti kehadiranku di dunia karena sebelumnya kakak-kakakku yang seharusnya lahir lebih dulu, tidak pernah berhasil dilahirkan. Ayahku anak ke 6 dari 10 bersaudara, dan Ibuku anak ke sekian dari sekian bersaudara. Ayahku berperawakan tinggi, gagah dengan rambut ikal yang dominan dan tentunya itu menurun pada genetikku. Ayah seorang pekerja keras tapi lembut hatinya. Lembut hati bukan berarti lembut juga kepada anak-anaknya, didikannya sangat keras, galak dan otoriter. Aku hampir tidak pernah berani melihat wajahnya jika sedang marah. Ayah adalah seorang tentara, pekerjaannya itu membuat kami sering berpindah dari satu kota ke kota lain. Sedangkan Ibuku adalah seorang ibu rumah tangga biasa yang tidak mengenyam pendidikan tinggi. Oh iya, sebenarnya Ayahku di awal pernikahannya tidak direstui oleh Ibunya. Tentu saja alasannya karena berbeda suku dengan Ibuku. Ya Tuhan… alasan klise memang, tapi ini kenyataan. Jika kalian tau sejarah Perang Bubat, ya begitulah kira-kira alasannya mengapa Nenekku tidak merestui pernikahan mereka karena Ibuku berasal dari barat. Ibuku pernah bercerita saat menikah dengan Ayah Nenek tidak datang, yang datang hanya Kakek dan beberapa saudaranya. Kakekku juga seorang tentara, dan hanya Ayahku satu-satunya anak yang meneruskannya. Berat sekali perjuangan Ibuku, hingga pada akhirnya Nenek luluh juga sejak Aku lahir. Meskipun Aku terkendala bahasa dengan Nenek dan saudara-saudara dari Ayahku jika kami berkumpul bersama, tapi saat-saat paling ditunggu adalah saat pulang ke rumah Nenek. Masakan Nenek enak sekali, Aku suka tertawa sendiri jika mengingat bagaimana Aku berkomunikasi dengan Nenek hahaha..
Aku tumbuh di lingkungan yang nyaman tanpa kekurangan apapun. Aku ingat sekali saat itu Aku berulang tahun ke 5 dan Ayah membuatkan pesta dirumah dengan mengundang teman-temanku. Ayah yang keras dan galak itu ternyata sangat menyayangiku. Sampai saat ini Aku masih menyimpan foto momen saat itu, saat Aku berulang tahun ke 5 dengan kue ulang tahun yang bagus dan kado yang banyak. Perasaan yang tidak pernah dirasakan oleh seorang anak berumur 5 tahun, perasaan bahagia yang tidak bisa digantikan dengan apapun. Aku buka kado-kado itu satu persatu, isinya tentu saja kebahagianku. Ada mainan, kue-kue manis, alat tulis dan ada satu hadiah yang paling tidak bisa Aku lupakan sampai dewasa ini, obat nyamuk bakar hahaha. Tentu semua hadiah-hadiah itu sangat berarti untukku. Tetapi Aku tidak pernah membayangkan 7 tahun kemudian di tanggal yang sama menjadi hari paling kelam dalah hidupku.
Hai…. perkenalkan namaku Tanisha, di tahun 2024 ini Aku berusia 34 tahun. Jika kalian bertanya apakah Aku sudah berkeluarga? Tentu saja, saat ini Aku memiliki satu orang anak laki-laki berusia 7 tahun.
Sejak Aku lahir ayahku bertugas di barat, kami berpindah-pindah kota dan tinggal di asrama bahkan kadang kami juga mengontrak rumah. Jika Aku mau mengaku, sebenarnya Aku merasa krisis identitas jika ditanya Aku ini orang mana. Bahasa juga pastinya berpengaruh, di rumah kami sehari-hari menggunakan bahasa Ibuku yang berasal dari barat. Meskipun Ayah bukan orang dari barat, tetapi lama-kelamaan Ayah juga akhirnya bisa bahasa itu. Kehidupan kami berjalan dengan baik dan bahagia hingga Ibuku mengandung Adikku. Anak perempuan berusia 5 tahun yang tau sebentar lagi akan memiliki adik perasaannya ternyata campur aduk, senang karena akan punya teman bermain, sekaligus ada rasa cemburu khawatir Ayah dan Ibu akan lebih menyayangi adik. Pernah suatu hari saat perasaan saya sedang tidak begitu baik saya menjatuhkan uang jajan 50 rupiah dari saku seragam sekolah. Anak TK yang kehilangan uang jajan itu menjadi sangat sedih dan menangis. Saat jam istirahat dan bermain, Aku yang berumur 5 tahun itu kabur dan pulang ke rumah sendiri. Padahal jarak dari rumah ke sekolah cukup jauh jika berjalan kaki, harus menyebrangi jalan besar dan kebun-kebun yang sepi. Sesampainya di rumah Aku menangis dan memeluk Ibuku yang sedang hamil besar, Aku menceritakan jika uang jajanku terjatuh dan hilang, Aku sangat sedih. Saat itu zaman belum secanggih sekarang, komunikasi Ibu dengan Bu Guru di sekolah tidak bisa dilakukan sampai akhirnya Bu Guru sampai di rumahku. Bu Guru mencariku sampai rumah, Aku malu sekali dan meminta maaf kepada Bu Guru karena ulahku jadi merepotkan semua orang. Bu Guru cantik itu bernama Bu Pipin, Bu Pipin memelukku dan menasihatiku dengan lembut. Sejak kejadian itu Aku tidak mau menjadi anak yang lemah jika Aku kehilangan sesuatu. Momen yang menggelikan tapi juga sangat membekas bagiku. Saat itu kami tinggal di sebuah rumah dekat dengan kantor Ayah saat bertugas di salah satu Kabupaten di barat. Sebuah tempat yang cukup lengkap fasilitasnya di tahun itu, seperti bioskop, stadion olahraga, gedung olahraga, swalayan, kolam renang umum dan berbagai fasilitas umum lainnya. Aku sering kali ikut bersama Ayah ke kantornya, tentu saja selepas piket atau setelah selesai bertugas hanya untuk makan Lengko di warung yang berjualan di belakang kantor. Sesekali Aku masuk ke ruang kerja Ayah, masih ingat betul beberapa mesin ketik tua berderet di ruangan itu, meja dan kursi kayu dan atribut-atribut tentara yang bertebaran. Belum tampak perkembangan teknologi seperti saat ini, hanya ada telepon kabel dan TV tabung 14 inchi yang digunakan untuk memantau aktifitas di sana. Aku jadi mengenal beberapa teman kerja Ayah, mereka sering bertanya padaku jika sudah besar Aku mau jadi apa. Aku tidak seperti anak lain yang punya cita-cita setinggi langit menjadi pilot, dokter, polisi, presiden dan lainnya, Aku hanya ingin pintar karena pikirku kalau Aku pintar Aku bisa menjadi apapun yang Aku mau. Pada awalnya Ayah memang berharap Aku akan menjadi penerusnya, Aku bisa berenang, Aku kuat berlari jauh sejak kecil tetapi semakin Aku tumbuh besar Aku tau Aku tidak akan menjadi penerus Ayah karena Aku pendek. Aku berhenti tumbuh di umur 11 tahun, jadi tinggi badanku saat ini sama seperti saat Aku berumur 11 tahun. Ayah dan Ibu akhirnya berubah pikiran dan berencana memasukkanku ke sekolah kesehatan pada saatnya nanti. Lagi-lagi Aku tidak suka dengan rencana Ayah Ibu, Aku hanya ingin belajar dan bekerja sesuai keinginanku saat Aku dewasa.