Bab Satu, Bagian Satu.
Masih teringat siang itu. Saat itu usia ku masih tujuh belas tahun, aku yang waktu itu sedang asyik menonton tv di ruang keluarga sendirian kaget dengan kedatangan Ayah yang tergesa-gesa melewati ku tanpa memalingkan wajahnya. Ia masuk rumah tanpa mengucap salam yang membuat kening ku mengernyit aneh.Tak biasanya Ayah seperti itu.
Pasti ada sesuatu yang tak beres, pikir ku dalam hati. Dengan rasa penasaraan ku yang amat tinggi ini aku pun mengikuti langkah lebar Ayah pelan-pelan, takut ketahuan bahwa aku mengikutinya. Dan beruntungnya pintu kamar tidak tertutup rapat, jadi aku bisa mendengarkan obrolan Ayah dan Ibu.
"Tidak bisa Bu, Ayah sudah mengambil keputusan ini demi kebaikan kita semua. Demi keluarga kita, demi masa depan Athiya dan juga Rayhan."
Samar-samar aku mendengar suara lirih Ayah, seperti putus asa. --Ya, walaupun aku sendiri belum pernah mendengar suara putus asa Ayah.-- Aku mendekatkan tubuh mungil ku ke pintu agar dapat mendengar lebih jelas lagi, tapi aku hanya mendengar isak tangis Ibu yang entah kenapa. Pikiran ku langsung berfikir cepat tentang masalah yang sedang terjadi saat ini.
Ayah sudah mengambil keputusan. Satu kalimat inti dari Ayah, juga suara tangis Ibu. Menjelaskan bahwa mungkin Ayah akan pergi meninggalkan kami; aku, Ibu dan, Rayhan adikku dengan jangka waktu yang lama. Tapi semoga saja tidak. Karena selama ini aku, Ibu, dan Rayhan belum pernah di tinggal oleh Ayah. Jadi serasa takut kehilangan sosok pelindung di keluarga.
Selang beberapa menit terdengar lagi suara Ayah
"Jaga anak-anak ya Bu, Ayah percaya Ibu bisa mendidik mereka dengan baik selama Ayah tidak ada disini."
Lalu suara roda menggelinding terdengar berdenyit, buru-buru aku menjauh dari kamar kembali lagi duduk manis di ruang keluarga. Pandangan ku berfokus pada layar televisi yang sedang menyala, tapi entah kenapa pikiran ku malah terbayang-bayang oleh perkataan Ayah dan isak tangis Ibu.
"Kak, maaafin Ayah tadi buru-buru masuk tanpa merhatiin kakak ada disini." Seruan Ayah membuat lamunan ku berhenti sesaat, ku alihkan perhatian ku ke sumber suara Ayah. Mata elangnya berkaca-kaca menahan tangis, aku tahu itu. Ayah tak mau menangis dihadapan aku dan Rayhan apapun keadaannya.