Bab Satu, Bagian Dua.
"Kak, kenapa?" Suara Rayhan membuyarkan lamunanku seketika yang sedang mencuci piring bekas makan malam, untung saja piring yang aku pegang tidak jatuh dan pecah.
"Pantas saja lama, ternyata kakak sedang melamun. Melamunin apa sih? kayaknya seru banget sampai aku panggil berkali-kali nggak di jawab." Lanjutnya lagi. Ku lihat seluit tubuhnya menarik kursi plastik yang berada di samping lemari es dan membawanya mendekatiku. Ia duduk manis menghadap diriku yang membelakanginya. Aku masih fokus melanjutkan pekerjaan ku, biarlah ia menunggu beberapa menit lagi untuk mendengar jawaban ku.
Setelah merapihkan peralatan yang sudah selesai ku cuci ke rak, ku balikkan tubuh ku menghadap dirinya. Setiap kali ku tatap mimik wajahnya selalu saja aku teringat pada sosok Ayah, Rayhan sangat mirip dengan Ayah. Kata Ibu, Rayhan ini jelmaan Ayah waktu SMA. Ku peluk saja kepalanya yang sejajar dengan perut ku.
"Yeey,,, ditanya malah diem. Sekarang di tungguin buat ngejawab malah tiba-tiba meluk. Aneh. Ray tahu kok Ray ganteng, tapi inget loh kita adik kakak. Jangan aneh-aneh." Katanya sembari menampilkan wajah polosnya.
"Narsis banget sih. Lagian kakak meluk kamu bukan karena kamu ganteng, tapi karena kamu mirip Ayah. Kalau bukan karena itu kakak juga ogah meluk kamu, wlek." Jawab ku sarkas sambil memeletkan lidah. Walaupun wajahnya tertutup dengan perutku, Rayhan pasti tahu aku memeletkan lidah.
"Aw, sakit Rayhan. Kenapa sih kamu suka banget nyubit perut kakak?" Sungut ku melepaskan pelukan lalu mengelus perut ku yang bekas di cubit Rayhan. Ini yang paling ku benci dari Rayhan, dia sangat suka mencubit perut ku jika tak bisa menjawab perkataan ku. Tapi sebenci apapun aku pada Rayhan, tetap saja aku menyayanginya. Karena rasa sayang ku lebih besar dari pada rasa benci ku padanya.
"Karena Ray sayang sama kakak, jadi kalau Ray sudah sayang sama seseorang akan Ray cubit perutnya." Jawabnya tanpa rasa bersalah sedikitpun.
"Aneh kamu. Kalau sayang itu dilindungin, bukan disakitin kaya kamu gini." Balas ku tak mau kalah.
"Itu kan orang lain, bukan Ray. Karena Ray kan di bikinnya limited editoin."
"Terserah kamu deh, kakak udah pusing sama omongan kamu yang ngawur kesana kemari. Sini, kakak masih pengen meluk kamu" Kata ku sambil merentangkan kedua lengan ku. Rayhan pun menerima pelukan ku, ia memeluk erat perut ku macam anak macan.
"Kakak sih sok-sokan nggak butuh pelukan Ray, sudah lepas baru ketahuan pengen lebih lama." Katanya sok bijak. Aku memanyunkan mulut ku dan berkata
"Iya deh, kalau masalah beginian kakak kalah. Tapi kalau masalah lain kakak lebih jago dari kamu ya!" Tantang ku.
"Iya deh, terserah kakak." Aku rasakan hembusan nafasnya yang berat mengenai perut ku, aku tahu dia sedang memikirkan sesuatu yang belum ia temukan solusinya. Oleh karena itu aku usap lebih lembut kepalanya agar sedikit mengurangi bebannya.
"Kak, jangan sering melamun karena memikirkan Ayah terus dong. Ray tahu kakak kadang masih nangisin kepergian Ayah, tapi Ray minta tolong biar kakak ikhlasin semua yang telah kita alami selama ini. Ikhlasin kepergian Ayah, ikhlasin caci-maki yang pernah orang-orang kasih ke keluarga kita, ikhlasin harta benda yang hilang di ambil paksa orang, ikhlasin kak. Ikhlasin." Suaranya pelan nan parau, sekali lagi aku tahu Rayhan mengeluarkan air matanya karena ulah ku. Sungguh, kakak macam apa diri ku ini?
"Maafin kakak Ray, maafin. Kakak selalu bikin kamu kecewa, nggak pernah bikin kamu bahagia." Kata ku sesenggukan. Aku pererat dekapannya. Jujur aku sangatlah lemah jika sudah mendengar nada parau Rayhan. Karena selama ini ia tidak pernah sedikitpun terlihat putus asa kecuali jika ia telah melihat ku atau Ibu yang masih saja menangisi kepergian Ayah.
“Syuut, bukan begitu kak. Iya kadang kakak suka bikin Ray kecewa, tapi kakak sering banget bikin Ray bahagia. Bahagianya Ray karena kakak itu lebih besar daripada kecewanya Ray ke kakak. Jadi jangan pernah mikir kalau kakak nggak berguna ada di samping Ray. Inget itu.” Katanya sembari mengurai pelukan.
“Sudah jangan nangis lagi, malu loh sama umur. Berasa Ray yang jadi kakak, dan kakak jadi adik deh.” Tambahnya lagi.
“Terserah kamu deh, mau jadi kakak ataupun adik tetap saja kamu lebih tinggi dari kakak.” Kata ku cemberut.
Memang, jika dibandingkan tinggi ku dengan tinggi Rayhan pastilah aku yang kalah telak. Tinggi ku hanya sedadanya, dan mungkin perbedaannya bisa mencapai dua puluh centi. Oleh karena itu, jika aku jalan-jalan bersamanya orang mengira kami adalah sepasang kekasih. Dan dengan percaya dirinya, ia menjawab iya, dia pacar saya. Kami hanya terpaut dua tahun.
Setelah kejadian iu, aku pun tak mau lagi jalan bersamanya. Enak saja dia berbicara seperti itu di depan banyak orang, kalau ada cewek yang suka padanya tahu kalau Rayhan menganggap ku sebagai pacarnya dan cewek itu melabrak ku bagaimana?! Ya walaupun pada akhirnya cewek itu meminta maaf karena salah faham tetap saja aku tak mau hal itu terjadi. Tapi memang dasarnya Rayhan yang keras kepala saja menganggap hal itu masalah sepele, bahkan katanya dia tidak akan pernah memaafkan siapa saja yang membuat ku menangis ataupun merasa tak enak hati. Dasar tidak baik hati, masalah seperti itu saja sampai tidak mau memaafkan kesalahan orang lain.
Di lain sisi aku merasa beruntung mempunyai adik seperti Rayhan. Ia tak mau keluarganya tersakiti, bagaimanapun keadaannya ia akan selalu melindungi aku dan Ibu. Mungkain karena ia merasa dirinyalah sosok lelaki satu-satunya yang tersisa di keluarga kami yang harus menggantikan peran Ayah, jadilah ia berbuat seperti itu. Atau mungkin karena pesan terakhir yang Ayah titipkan sebelum berangkat ke Malaysia beberapa tahun lalu. Entahlah, aku pun tidak tahu apa sebabnya. Aku hanya tahu jawaban yang keluar dari mulutnya hanyalah Ray sudah besar dan harus jadi pria yang kuat.
Ya Allah, lindungilah adik ku yang kuat ini. Jadikan dia manusia yang bermanfaat untuk banyak orang. Ku rapalkan do’a ini setiap hari khusus untuknya. Karena salah satu ciri kuatnya suatu ukhuwah persaudaraan itu ialah ia yang saling mendo’akan saudaranya setiap saat.
***
Keesokan harinya, aku disuguhkan dengan sesuatu yang menakjubkan. Tidak seperti hari biasanya, meja makan yang setiap pagi kosong kini di penuhi dengan berbagai aneka masakan yang membuat cacing-cacing di perut ku keroncongan minta di isi.
Aku tahu ini bukan masakan Ibu, karena biasanya di jam pagi seperti ini Ibu masih bergelung dengan butir tasbih di tangannya didalam kamar. Aku menyuruhnya agar tak banyak beraktifitas dengan kondisinya yang akhir-akhir ini sedang kurang baik dan aku tidak ingin beliau sakit lebih parah.
Apakah Rayhan yang memasak semua makanan ini? Seingat ku ia pernah mencoba pertama kalinya untuk memasak makan malam kami dan berakhir terbuang ke tong sampah karena rasanya tak karuan, oleh karenanya ia tidak pernah mau lagi mencoba memasak. Atau mungkin setelah kejadian itu Rayhan malah lebih berusaha lagi tanpa aku dan Ibu ketahui. Aku pun tak tahu.
Karena rasa penasaran yang mendominasi akhirnya ku hampiri saja ke kamarnya yang berada di samping kamar Ibu. Ku ketuk pintunya beberapa kali hingga muncul si pemilik kamar keluar dengan pakaian sekolah yang rapi.
“Kamu yang masak semua itu Ray?” Tanya ku retoris. Ia tersenyum canggung.