GARIS TAKDIR

anis mahdzuroh
Chapter #4

Tentang Mengenang.

Bab Dua, Bagian Dua.


Waktu terus berlalu. Tak terasa tiga hari setelah acara seminar itu aku sangatlah di sibukkan oleh berbagai tugas kampus, di tambah harus mengontrol pemasukan dan pengeluaran supermarket yang sama-sama sedang banyak pengunjung.

Aku bersyukur keluarga dari Ayah masih ada yang ingat terhadap kami, yang alhasil meberikan sebuah supermarket yang sekarang sedang aku kelola. Walau tidak besar dan populer seperti supermarket yang lain, ini sudah cukup untuk kebutuhan kami.

Jam dinding menunjukkan pukul sepuluh tiga puluh malam, aku masih berkutat di depan laptop mengecek beberapa laporan supermarket selama seminggu terakhir.

Suasana ruang tengah sangat senyap. Dan mungkin Ibu pun sudah tidur, karena setelah makan malam tadi ia mengatakan kepalanya pusing, lagi. Jadi ku suruh saja ia masuk kamar lebih awal dan beristirahat langsung.

Sedangkan Rayhan, ia belum pulang dari sore tadi. Katanya ada kegiatan di masjid bersama teman-teman sebayanya. Jadi, ku izinkan saja ia pergi. Aku tidak mau masa remajanya terhalangi oleh keadaan keluarga, walau terkadang aku pun kewalahan dengan semua aktifitas ini. Tak apa, ku anggap saja ini semua salah satu cara membalas pengorbanan Ibu.

Ceklek. Ceklek.

Terdengar pintu depan di buka dan mungkin sekaligus di tutup kembali, pasti Rayhan. Ku hentikan terlebih dahulu kegiatan ini, menghampiri Rayhan dan mengobrol beberapa menit tidaklah akan memakan banyak waktu.

Langsung saja aku menuju ruang tamu, ternyata Rayhan sedang duduk bersender di sofa ruang tamu. Matanya terpejam. Mungkin ia sangat kelelahan. Ku urungkan niat untuk menghampirinya, berbalik ke arah dapur hendak membuatkan minuman hangat untuknya.

Sekarang kedua lengan ku sudah terpegang oleh nampan yang diatasnya berisi segelas kopi dan setoples makanan ringan. Tanpa membuat kegaduhan ku hampiri Rayhan lagi. Matanya masih terpejam, sepertinya ia ketiduran. Ku simpan nampan ini ke meja di hadapan Rayhan, lalu duduk tepat di sofa sebelahnya.

Wajahnya sangat tenang jika saat terlelap, berbeda jauh dengan saat matanya terbuka. Kaku. Tanpa senyum dan tidak suka sesuatu yang menurutnya bertele-tele. Kelakuannya yang seperti ini saja masih banyak di sukai, apalagi kalau ia merubahnya agak lembut. Mungkin sudah banyak yang menghampirinya meminta menjadi kekasihnya.

Tapi aku sangat percaya pada Rayhan, dia sangatlah anti dengan namanya pacaran. Katanya ribet, banyak peraturan tersirat, apalagi kalau pacarnya yang cemburuan. Dasar, tipikal Ayah sekali.

Tak mau menganggu tidur pulasnya, ku ambil saja laptop dan ponsel ku di ruang tengah. Berpindah tempat melanjutkan pekerjaan yang tadi sempat tertunda.

"Nice dream, Ray." Kata ku lirih. Setelahnya aku sudah kembali larut di depan laptop lagi.

Beberapa menit kemudian ponsel ku bergetar tanda panggilan masuk. Siapa sih yang malam-malam begini menelpon, dasar tidak tahu jam tidur orang. Rutuk ku dalam hati. Dengan enggan aku angkat, tapi sebelumnya ku lihat terlebih dahulu siapa si penelponnya.

Aku mendesah panjang, ternyata Salsabila sahabat ku. Wajar saja, dia pasti tahu aku belum tidur jam segini.

Lihat selengkapnya