Bab Tiga, Bagian Satu.
Mata ku mengerjap beberapa kali, menetralisir cahaya yang masuk ke dalam kornea mata. Entah sudah berapa lama aku tertidur di bangku taman belakang rumah Salsabila. Dan seingat ku, aku tidur tanpa menggunakan alas apa pun, apalagi bantal. Tapi mengapa sekarang ada bantal bersarung biru langit yang menjadi penindih kepala ku?
Apa Salsabila yang melakukan ini? Jikalau Salsabila yang melakukannya, aku tak mengapa. Tapi berbeda jikalau mama atau papa yang melakukannya, sangat memalukan.
Tak apalah, semoga saja Salsabila yang melakukannya. Akan ku bawa saja bantal ini masuk ke dalam rumah. Sebelum itu, ku lirik dulu jam tangan di lengan ku. Pukul dua kurang sepuluh menit. Sontak mata ku melotot, sebelum tidur aku mengalarm hanya satu jam. Bukan malah seperti sekarang yang sudah hampir lebih dari tiga jam. Sebegitu nyenyak kah aku tertidur sampai tidak mendengarnya.
Dan satu lagi, aku lupa belum melaksanakan sholat dzuhur. Astaghfirullah, ya Allah maafkan hamba telah melalaikan kewajiban ku sebagia seorang muslim.
Buru-buru aku masuk ke rumah dengan menenteng bantal, langsung masuk ke kamar tamu yang dari hari kemarin sudah aku tempati. Tak apalah, masih belum terlambat. Semoga Allah mengampuni ku.
Dengan tenang aku memulai sholat. Dari takbiratul ihram hingga salam. Aku serahkan segalanya pada yang Maha Pemilik Solusi.
Selesai sholat, ku lirik lagi jam dinding. Beberapa puluh menit lagi adzan ashar berkumandang. Jadi, lebih baik aku menunggu adzan dengan bertilawah qur'an. Membaca ayat demi ayat sambil menafakuri maknanya. Sungguh, manusia akan rugi jika tak tahu apa tujuannya diciptakan oleh sang Maha Pencipta.
Tok. Tok. Tok...
"Athiya, kamu ada di dalam?" Suara mama bertanya di balik pintu. Ku hentikan dulu tilawah ku, hendak membuka pintu.
"Iya, ma. Athiya ada di dalam." Jawab ku sambil berdiri membuka pintu.
Ternyata mama sudah berganti pakaian, berarti acara akad Salsabila telah selesai entah jam berapa. Mama mengembangkan senyumnya, lembut nan menenangkan.
"Ayo masuk, ma." Kata ku mempersilahkan masuk, pintu kamar aku buka lebar-lebar agar mama bisa masuk. Mama masuk, duduk di ranjang samping sajadah yang sudah terhampar. Aku mengikutinya.
"Sudah makan sayang?" Tanya nya.
"Belum, ma. Nanti saja habis sholat ashar insya Allah Athiya langsung makan."
"Oh, ya sudah. Bener ya habis sholat langsung makan." Aku mengangguk mantap. "Kalau begitu mama juga mau sholat dulu, kamu lanjutkan tilawahnya. Maaf juga mama mengganggu." Kata mama sambil pamit keluar kamar.
"Tenang saja, mama nggak pernah ganggu Athiya kok, serius." Kata ku mantap. Mama sudah hendak menutup pintu, tapi ia urung sebentar untuk menjawab perkataan ku dengan senyum mengembangnya.
***
Setelah sholat ashar dan makan siang, aku pamit pulang. Awalnya papa yang akan mengantar ku pulang, tapi dengan halus ku tolak. Mengatakan aku akan mampir agak lama ke toko buku terlebih dahulu, hendak membeli beberapa buku untuk mengerjakan tugas-tugas ku.
Alhasil dengan berat hati mama mengizinkan ku pulang sendiri, dengan syarat jika aku telah sampai rumah harus langsung mengabarinya.
Ah,,, mama sungguh sangat protektif terhadap orang-orang yang ia sayang.
Setibanya di toko buku langganan yang sudah aku kelilingi bagiannya dari ujung kanan hingga ujung kiri ini, aku langsung menuju ke bagian rak-rak yang menjulang tinggi paling belakang. Bagian kelompok buku-buku referensi mahasiswa, biasanya di gunakan untuk membantu mengerjakan tugas harian dan juga skripsi.
Aku mencari buku-buku yang sedang aku butuhkan, semoga saja masih ada stoknya. Benar. Buku itu berada di rak jajaran ketiga, langsung saja ku ambil beberapa buku yang cocok untuk membantu menyelesaikan tugas ku.
Beberapa buku yang ku butuhkan sudah ada dalam genggaman. Tinggal mencari satu buku lagi, yaitu novel.
Ku langkahkan kaki ku menuju rak bagian novel. Mencari satu novel yang sedang aku incar sejak beberapa minggu lalu.
Mencarinya dengan sangat teliti takut-takut ada terselip oleh novel lainnya. Satu kata yang refleks keluar dari mulut ku, kalimat hamdalallah. Novel itu akhirnya aku temukan, hanya tersisa satu.
Bukan kepalang, aku sangat bahagia. Menuju kasir untuk membayarnya segera. Sungguh, aku tak sabar ingin segera membacanya.
Di rak sebelah novel aku melihat seorang pria sedang mengubrak-abrik rak, entah mencari buku apa. Ku perhatikan saja gerak-geriknya dari rak atas sampai bawah, lalu kembali lagi ke atas turun ke bawah, hingga seterusnya aku tidak bisa menghitungnya sudah berapa kali ia bolak-balik mencar.
Karena kasihan sedari tadi tidak menemukan apa yang ia cari, ku hampiri pria itu yang masih fokus dan tidak mengetahui kedatangan ku.
"Ehem... Mas sedang cari buku apa? Siapa tahu saya bisa membantu." Suara ku membuyarkan konsentrasi pria itu. Ia membalikkan tubuhnya yang sedari tadi membelakangi ku.
Beberapa saat aku berdiri kaku melihat wajah pria itu. Ternyata ia adalah pria urakan itu, pria yang pernah berdebat dengan Salsabila seminggu lalu hanya gara-gara bukti kasus rektor kampus. Penampilannya tidak jauh berbeda dari yang pertama aku lihat.
Dan aku bertaruh itu dia, tidak salah lagi. Aku masih sangat hafal dengan mimik wajahnya yang begitu. Entahlah, aku tidak bisa mendeskripsikannya.
"Ehem..." Deheman pria itu membuat ku tersadar, aku tersenyum canggung. Kenapa bisa bertemu dengan pria itu di sini, tanpa Salsabila pula.
"Maaf mas, sedari tadi saya melihat anda mencari-cari sesuatu dan belum menemukannya. Mungkin anda butuh bantuan, saya siap membantu." Jelas ku agak terbata-bata.
Pria itu belum menjawab pertanyaan ku, malah menyelidik penampilan ku dari atas sampai bawah. Aku yang merasa risih langsung menegur.
"Bagaimana?" Tanya ku ulang. Bukannya menjawab pria itu malah balik bertanya.
"Kau penjaga toko ini?" Aku salah tingkah beberapa detik.
"Bukan, tapi saya sudah sering kemari dan alhamdulillah sudah hafal seluk beluknya." Jawab ku jujur. Mungkin ia pikir aku ini manusia sok tahu, mau pamer aku sudah jadi pelanggan setianya. Terserahlah, pria itu mau menilai ku seperti apa.
Pria itu berpikir beberapa saat.
"Boleh, tolong carikan buku yang seperti ini." Katanya sambil menyodorkan ponselnya di hadapan ku yang menampilkan sebuah buku terbitan baru yang sudah selesai aku baca beberapa hari lalu.
Aku manggut-manggut, mengingat kembali letak buku itu di tata di toko buku ini.
"Mari ikuti saya ke dua rak sebelah kanan." Pria itu mengikuti di belakang.
"Seharusnya anda bertanya pada penjaga tokonya langsung agar cepat, bukan malah mencarinya dari rak atas sampai bawah berkali-kali." Aku mengomentari kelakuannya tadi sambil tersenyum geli.
Baru kali ini lagi aku menjumpai seorang pria yang tidak terlihat penyuka buku mengobrak-abrik rak di toko buku. Aku tak tahan untuk bertanya sesuatu, jadi ku utarakan saja.
"Kalau boleh saya tahu, apa tidak salah anda beli buku ini? Seingat saya, buku ini menjurus pada kisah inspiratif tokoh utama. Hampir mirip novel motivasi." Aku menjelaskannya sedikit. Pria itu tersenyum tipis, sangat tipis. Tapi aku masih bisa melihatnya.
"Tidak, saya beli buku ini untuk kado ulang tahun adik sepupu saya lusa nanti." Jawabnya. Aku membulatkan mulut ku membentuk huruf O.
"Keren, kado ulang tahunnya buku. Pasti sepupu anda itu yang cerita mau punya buku itu. Dan anda berinisiatif untuk di jadikan kado ulang tahunnnya. Benarkan dugaan saya?" Tanya ku antusias. Pria itu mengangguk.
Tidak hanya mulut ku saja yang bergerak, tangan ku juga sama. Mencari buku yang pria itu inginkan, pasti masih ada.
"Yes, ketemu!" Dengan refleks aku mengepalkan kedua tangan sambil memekik kegirangan.
"Yang ini kan?" Tanya ku ulang, hanya sekedar formalitas saja. Lagi-lagi pria itu mengangguk, ada kilatan kebahagiaan yang terpancar dari matanya.
"Terima kasih." Ku berikan bukunya, beberapa saat mengibaskan tangan yang sedikit terkena debu.
Pria itu belum juga pergi dari hadapan ku, ku tanyakan saja kenapa.
"Apa masih ada yang kurang?" Ia menggeleng, lalu buat apa masih diam mematung disini? Oh aku ingat.
"Apa anda masih butuh bantuan saya buat bungkus bukunya?"
Pria itu tersenyum kecil. Lama kelamaan aku jadi terbiasa melihat senyumannya, walau tidak lebar.
"Apa anda masih punya waktu buat bantu saya lagi?" Mungkin pria itu masih merasa canggung karena baru mengenal aku yang tiba-tiba baik memberi bantuan. Aku mengangguk mantap.
"Okey, saya masih bisa bantu kok. Di arah selatan beberapa ratus meter dari sini ada taman, kita ke sana saja untuk membungkus ini." Kata ku mengusulkan, ia manggut-manggut menyetujui.
"Tapi sebelum itu kita bayar dulu pesanan masing-masing. Silahkan anda jalan lebih dulu." Titah ku. Tanpa banyak tanya ia berjalan beberapa langkah di depan ku.
Sampai di kasir, pria itu melirik ke arah ku.
"Biar sekalian saya yang bayar pesan anda." Katanya hendak mengambil buku-buku yang berada dalam genggaman ku. Aku menolak tidak mau. Lagi pula aku melakukan ini semua tidak sedikitpun mengharap imbalan.
Beberapa menit kami saling adu argumen. Aku keukeuh ingin bayar sendri, pria itu juga sama keukeuhnya ingin membayarkan pesanan ku.
Penjaga kasir yang melihat kami akhirnya memberi saran agar sebagian buku yang aku pesan di bayar oleh pria itu.
Awalnya aku ragu, tapi dengan berat hati mengiyakan. Dengan syarat hanya novel saja yang ia bayar, sisanya biar jadi tanggungan ku.