Bab Empat, Bagian Satu.
Sepulang dari acar ulang tahun Vina dan bertemu dengan gadis cilik di jalan menuju pulang, aku langsung masuk kamar setelah menyalami Ibu yang sedari tadi menunggui kepulangan kami. Aku ingin cepat-cepat mengistirahatkan tubuh ku yang sudah kelelahan.
Walau saat acara kemarin aku tidak menyentuh hidangannya, tetap saja kami berdua pulang agak lama. Hampir satu jam. Itupun karena suruhan Rayhan, kalau tidak mungkin aku masih asyik mengobrol dengan Vina.
Dan pagi ini, hari minggu yang kurang mendukung. Cahaya matahari tidak keluar karena tertutup awan mendung. Masih pagi, tapi serasa sore hampir malam. Pun membuat ku malas untuk bangun dari kasur. Ku paksa diri ini agar bangun dan melaksanakan aktifitas pagi seperti biasa. Beres-beres rumah dan masak.
Di ruang keluarga, duduk Rayhan yang sedang membaca mushaf al-qur'annya. Ku biarkan saja, tak mau mengganggu. Ku ambil sapu yang berdiri di ujung pintu hendak ke dapur, menyapu lantainya dari ruangan yang paling belakang hingga maju ke ruang depan. Tapi, saat melewati ruang keluarga, gerakan ku di tahan oleh Rayhan.
"Biar Ray yang lanjutin nyapu dan ngepelnya." Ucapnya sambil mengambil alih sapu yang ada dalam genggaman ku. "Mending kakak masak saja, biar cepet beres." Lanjutnya lagi. Aku turuti saja sarannya. Pergi ke dapur hendak memasak untuk sarapan pagi ini. Ku buku lemari es secara perlahan, masih ada beberapa sayur mayur, sosis, nuget, dan daging ayam. Terlintas dengan cepat di pikiran ku hendak masak apa. Sayur capcay dan nuget goreng di campur nasi yang masih mengepulkan uapnya. Lezatnya.
Bergegas mengambil bahan yang di butuhkan dan mengeluarkannya, sesaat meja dapur terisi sebagian oleh berbagai sayur. Dengan cekatan memotong semua sayuran dan mencucinya di westafel. Menumisnya hingga matang di campur dengan sosisi beserta bumbu perasanya.
Tidak kurang dari tiga puluh menit sayur capcay dan nuget goreng buatan ku sudah siap di santap.
"Ray.... Tolong panggilin Ibu sekarang! Sarapannya sudah jadi." Kata ku sedikit berteriak menyuruh Rayhan. "Kalau nyapu ngepelnya belum selesai nanti saja di lanjut." Tambah ku takut-takut Rayhan belum selesai.
"Iya kak, sebentar." Jawab Rayhan dari arah depan. Ku susun saja makanan di atas meja makan. Ibu dan Rayhan datang bersamaan, duduk berhadapan dengan ku yang sudah lebih dulu.
"Selamat makan." Ucap Ibu setelah berdo'a dalam hati dan langsung melahap sarapannya. Di ikuti aku dan Rayhan yang makan dengan tenang.
Lima belas menit kami telah selesai dengan sarapan masing-masing, Ibu pamit masuk ke kamarnya lagi karena belum menyelesaikan rajutannya. Memang, Ibu sudah ahli dalam merajut apa saja. Kadang aku dan Rayhan melarangnya agar Ibu hanya fokus istirahat dan menikmati sisa umur di masa tuanya, tapi Ibu menolak. Katanya merajut itu untuk mengisi ke kosongan waktu yang dulu sering Ibu gunakan untuk meratapi kepergian Ayah, dan agar pikirannya tidak tertuju ke masa-masa itu. Ya sudah, aku dan Rayhan akhirnya mengizinkan Ibu untuk merajut, dengan syarat tidak perlu di jual. Cukup berikan pada orang yang Ibu inginkan. Persyaratan tersirat itupun akhirnya di setujui.
Tinggallah aku dan Rayhan yang sama-sama sedang merapihkan bekas sarapan. Rayhan mengelap meja makan, sedangkan aku mencuci piring kotornya. Dan semua pekerjaan rumah akhirnya selesai.
"Kak, hari ini ada jam masuk kelas?" Tanya Rayhan saat melihat ku merapihkan laptop dan beberapa buku yang berserakan di meja ruang keluarga.
"Iya, nanti jam sepuluh. Berangkat dari sini jam sembilanan. Atau kamu mau antar kakak ke kampus?!" Ucapan ku sebenarnya bukanlah sebuah pertanyaan, melainkan pernyataan agar Rayhan mengantar ku, hitung-hitung tidak akan terlalu lama di perjalanan.
"Boleh, nanti kita berangkat jam setengah sembilan. Ray mau ajak kakak jalan-jalan dulu sebentar."
"Okey, nanti jam delapan lima belas kakak ketuk pintu kamar kamu. Kalau nggak keluar-keluar kakak sita laptop baru kamu." Kat ku memberi ancaman. Rayhan menyeringai, tidak akan melepaskan laptop barunya berpindah tangan.
Aku masuk ke dalam kamar ku, hendak bersiap karena jam dinding sudah menunjukkan pukul tujuh. Masih ada waktu untuk sholat dhuha dan tadarus sebentar.
Tepat pukul delapan lima belas ku ketuk pintu kamar Rayhan dengan agak kasar, sudah dua kali ketukan tapi si empu tidak membukanya. Awas saja, akan aku ketuk sekali lagi. Jikalau Rayhan masih tidak membukakannya, akan aku ambil paksa laptop barunya itu.