GARIS TAKDIR

anis mahdzuroh
Chapter #11

Obrolan Seputar Herlam.

Bab Empat, Bagian Dua.


Rayhan akhirnya membuktikan bahwa ia akan mengantar ku ke kampus tidak terlambat. Walau hanya tinggal beberapa menit lagi, itu termasuk memenuhi janji. Jam sepuluh kurang lima menit, motor yang Rayhan bawa sampai di parkiran mahsiswa. Aku langsung pamit untuk langsung masuk kelas, sekedar salam dan sepatah kata untuk hati-hati di jalan, ku tinggalkan Rayhan yang masih memperhatikan jalan ku yang terburu-buru.

Untungnya, saat aku sampai di kelas dosen belum datang. Hanya seling dua menit lebih dulu dengan ku. Aku langsung mengeluarkan alat tulis saat dosen mengucapkan salam pembuka, melirik ke arah Dea teman sebangku ku yang mengerutkan dahinya bingung melihat tingkah laku ku yang sedikit aneh. Aku bertanya lewat kontak mata 'kenapa?', yang di jawab dengan gelengan olehnya.

Hari ini Salsabila tidak ada kelas, alhasil aku sendiri yang kesepian tanpa ada ocehan tidak jelasnya. Dan bersyukur masih ada Dea yang aku kenal, mungkin sedikit akrab.

Kelas hari ini berjalan dengan lancar, tanpa ada hambatan. Dua jam berkutat dengan pena dan buku, akhirnya kelaspun telah usai selesai. Dea mengajak ku ke kantin untuk membeli makanan, katanya ia telat bangun dan tidak sempat untuk sarapan yang alhasil sekarang perutnya agak sedikit perih.

"Makanya, sudah tahu punya magg masih aja ngebantah nggak makan. Sok-sokan kuat sih, kalau sudah kambuh akhirnya ngeringkuk di kasur." Cibir ku agak kesal karena Dea selalu begini. Mengenyampingkan jadwal makannya dengan berbagai kegiatan yang tidak terlalu aku mengerti.

"Iya deh, aku salah. Tapi tolong kamu jangan ganggu aku makan dulu sekarang, ngomel-ngomelnya nanti setelah aku beres makan okey?!" Katanya yang masih fokus dengan makanannya. Karena tak tega melihat makannya yang sangat lahap seperti tidak makan seminggu, aku urung untuk melanjutkan omelan ku. Mengamati setiap gerakannya yang menyuapkan nasi masuk ke dalam mulut.

Hanya butuh waktu lima menit bagi Dea untuk menghabiskan makanannya, memungut beberapa remah nasi yang keluar dari piringnya lalu meminum air putih hingga tandas. Ia menatap ku intens, pasti ada hal yang hendak Dea tanyakan. Jadi, ku diamkan saja ia sampai waktu yang tak di tentukan. Biarkan Dea yang berkata sendiri tanpa harus aku paksa sedikitpun.

"Ceritain dong kejadian yang kemarin kamu datang ke acara ulang tahun sepupunya Al!" Katanya dengan enteng. Aku mengerutkan dahi, tahu dari mana Dea. Sebelum aku mempertanyakan hal itu, Dea sudah lebih dulu menjawab, "Aku juga ada di acara itu, lihat kamu datang sama Rayhan. Jadi, kamu nggak bisa menghindar buat cerita. Dan satu hal lagi, kalian kelihatan akrab banget." Lanjut Dea. Menghela nafas sebentar, mungkin ada baiknya aku berbagi kisah walau bukan Salsabila yang pertama tahu.

"Tapi kamu harus janji, jangan sampai Caca tahu ini dari mulut orang kecuali aku!" Seperti anak kecil yang harus memegang janjinya, kamipun sama saling menautkan jari kelingking tanda Dea akan menjaga rahasia ini.

"Sebenarnya aku dan Lam baru kenal, malam tadi itu pertemuan yang kedua." Entah apa yang harus aku jelaskan untuk permulaannya. "Tapi jujur ya, De. Keluarganya udah jelas bukan islam. Tapi pas aku tanya dia islam bukan dia nggak jawab, malah diem bikin aku penasaran. Kan kalau dia jawab bukan juga ya kau nggak masalah, insya Allah aku hargai. Lah ini malah begitu, heran deh aku." Keluhan yang pernah aku utarakan pada Rayhan dan Ibu tempo hari aku utarakan lagi pada Dea. Memang itulah yang masih ada dalam pikiran ku tentang dia.

"Tapi, aku pernah denger kalau ibunya Al itu islam. Nggak tahu kenapa orang tuanya cerai dan Al ikut sama bapaknya yang kamu juga tahu dia siapa." Sedikit informasi dari Dea ini sungguh membuat ku tercengang, makin menimbulkan rasa penasaran ku yang entah sudah sebesar apa. "Kalau kamu mau tahu lebih jelas dan akuratnya tinggal tanya langsung aja ke orangnya, takut informasi yang aku dengar ini salah." Tambah Dea memberi saran.

"Nggak segampang itu Dea.... Dia nggak akan langsung cerita sama orang yang baru dia kenal kayak aku, apalagi dengan keadaan keluarganya yang seperti itu. Pasti dia berpikir aku mau tahu tentang dia itu buat ngejatuhin perusahaan keluarganya." Kata ku kesal. Bisa-bisanya Dea berucap seenteng itu tanpa memikirkan sebab akibatnya.

"Itu sih terserah kamu mau bagaimana, aku cuma kasih saran yang baik." Ingin sekali aku ketuk kepalanya itu dengan sendok bekasnya makan, memperlihatkan wajah tanpa dosa di sertai senyum bodohnya. Kalau Dea bukan teman ku sudah di pastikan aku jauhi orang yang seperti itu.

"Tapi bisa jadi dia atheis loh." Tambahnya lagi yang membuat kepala ku pusing harus berulang kali memikirkan perkataannya yang mudah masuk dalam ingatan ku.

Lihat selengkapnya