Bab Empat, Bagian Tiga.
Lima belas menit waktu di perjalanan untuk menuju toko buku yang saat ini sudah terlihat bangunannya dari tempat ku berdiri setelah keluar dari bus kota. Langsung saja ku langkahkan kaki ini kesana dengan agak cepat, takut Herlam sudah datang sedari tadi.
Di dalam toko buku lumayan ramai, hingga membuat ku agak susah mencari keberadaan Herlam. Dari pada terlalu pusing untuk mencari ke sekeliling, lebih baik aku tanyakan saja dimana keberadaannya.
Lam, kamu sudah sampai belum?
Pesan chat langsung ku kirim ke nomor Herlam, beberapa menit menunggu akhirnya mendapat balasan.
Belum, otw. Lu dah nyampe dari kapan?
Barusan, aku duluan masuk ya. Nanti kamu ke tempat yang kemarin kita nemuin buku itu saja, aku tunggu.
Tanpa harus tahu jawaban dari Herlam lagi, aku langsung masuk lebih dalam. Menyapa semua penjaga yang sudah aku kenal akrab dan melanjutkan langkah ku menuju tempat yang kemarin aku temukan buku itu. Akan ku coba cari di tempat yang sama dulu, kalaupun tidak ada akan aku cari ke tempat yang tidak jauh dari area sekitar situ.
Beberapa menit aku bolak-balik dari rak pertama sampai rak ke empat tempat buku yang hampir mirip dengan buku itu, tapi masih belum di temukan juga. Penjaga buku disini sangatlah terbatas, hanya ada sepuluh karyawan. Dengan satu kasir, satu pelayan, dan dua cleaning servis pada setiap siftnya. Oleh karena itu aku tidak seharusnya menambah beban mbak Dinda--pelayan toko-- yang sedang membantu beberapa pengunjung baru mencari bukunya. Berbeda dengan pengunjung lama yang pasti akan tahu alasannya mengapa toko buku sebesar ini hanya memiliki beberapa karyawan saja, termasuk aku.
Beberapa kali juga aku membantu pengunjung yang kebingungan memilih buku, sepeerti waktu pertama kali aku bertemu dengan Herlam.
Terlalu fokus dengan pencarian buku yang memang aku usahakan dengan keras, aku tidak mengetahui kedatangan manager toko yang sudah lumayan akrab dengan ku, namanya Fandi Zulkarnaen. Usianya hanya dua tahun di atas ku, di tambah dengan wawasannya yang luas membuat ku selalu kagum jika ia sudah berargumen di sesekali pertemuan di sini.
Fandi orang yang ramah, ia juga suka turun tangan langsung membantu keberlangsungan berjalannya toko buku. Sehingga tidak sedikit pengunjung mengiranya sebagai karyawan.
"Assalamu'alaikum, Athiya. Kaifa haluki? Lama tak berjumpa, ya." Sapa Fandi yang sudah berada beberapa langkah di samping ku, hampir membuat ku terkejut karena tiba-tiba datang.
"Wa'alaikumsalam, Fan. Alhamdulillah, baik. Kamu sendiri?" Jawab ku menanyakan kembali kabarnya. Memang, selama beberapa minggu kebelakang saat aku sering kemari Fandi tidak muncul di hadapan ku. Mungkin ia sedang banyak pekerjaan sehingga tidak keluar dari ruangannya, atau apalah yang akupun tidak mengetahuinya.
"Alhamdulillah. Sedang cari buku apa?" Tanya nya kembali, aku menyebutkan judul bukunya dan tanpa banyak bicara ia membantu mencarikan.
"Memangnya kamu tidak sedang ada pekerjaan? Atau memang sedang mumet sampai keluar dari ruangan mu itu?" Tanya ku di sertai kekehan kecil. Terkadang Fandi juga sering menceritakan kegiatannya selama menjadi manager di toko buku ini, hingga aku yahu bagaimana kebiasaannya jika sedang tidak dapat berpikir dengan jernih ataupun sedang bosan mengurung di dalam ruangan. Ia pasti akan keluar mencari teman yang menurutnya enak di ajak berdiskusi ataupun berbincang santai.
"Entahlah, mumet dan bosan bergabung menjadi satu." Jawabnya sambil mengedikkan bahu. "Kebetulan kamu ada disini, bagaimana kuliah mu yang sudah hampir selesai itu? Pasti sedang banyak-banyaknya tugas dari dosen."
"Begitulah, kadang akupun merasa bosan setiap hari berkutat dengan tugas-tugas menggunung yang entah kapan selesainya." Keluh ku dengan nada sedikit tidak bersemangat jika mengingat tugas yang belum tuntas ku kerjakan.
"Tugas mu masih mending ada dedlinenya, lah pas zaman ku itu bagaimana? Hari ini di kasih, besoknya di presentasikan. Haduh, itu lebih pusing Athiya." Ungkapnya yang sudah sering aku dengar. Aku mendelik.
"Jadi anak cerdas kayak kamu enak, jawaban sudah ada di luar kepala. Tinggal copy paste dan rombakan sedikit terus selesai." Kata ku agak sedikit sebal. Tidak bisa di elak, Fandi memang sosok yang cerdas. Di tambah ia adalah salah satu lulusan dari universitas ternama di Indonesia yang mendapat nilai cumlaude. Jadi iri kalau ingat-ingat kisah perjuangannya mendapatkan nilai sebesar itu. Dan memang benar apa kata pepatah, usaha tidak akan mengkhianati hasil. Fandi siang malam tidak henti-hentinya belajar, mempelajari semua pelajaran yang memang belum di sampaikan oleh dosennya secara autodidak.
"Kamu juga harus ingat kalau kamu pernah ikut jalur akselerasi saat SMP dan SMA. Dan anak akselerasi itu nggak ada yang nggak pintar!" Balas Fandi ngotot tak mau dirinya di anggap cerdas ataupun pintar.
"Kata siapa aku bodoh?" Tanya ku menantang.
"Terserah kamu deh! Ngomong sama kaum hawa kayak kamu pasti nggak akan menang." Katanya pasrah, aku terkekeh geli. Fandi memang kurang suka berdebat, apalagi berdebat dengan perempuan. Tapi, jangan berpikir kalau dia tidak suka berdebat akan selalu tunduk dengan apa yang bertentangan dengannya. Ia sosok yang tidak bisa di jelaskan. Tutur katanya lemah lembut, tapi di sisi lain ada ketegasan dalam kelemah lembutannya itu.
"Tuh kan, aku sedang cari buku malah di tahan sama obrolan ini." Kata ku teringat sedang mencari buku yang sedang Herlam butuhkan. "Pokoknya harus bantu cari!" Tambah ku memerintah tidak mau di bantah. Tanpa sepatah katapun Fandi membantu ku mencari.
Beberapakali berpindah rak tapi masih saja belum ketemu. Sesekali kami tertawa kecil karena obrolan kami yang tidak berhenti.
"Athitya, udah ketemu belum?" Intonasi suaranya yang dingin itu membuat obrolan ku dengan Fandi berhenti. Sosok yang akhir-akhir ini sedang dekat dengan ku karena suatu keperluan datang saat aku sedang bergurau dengan Fandi. Dia adalah Herlam, mengenakan kaos putih polos di balut dengan kemeja kotak-kotak maroon dan jins sobek-sobek di bagian lututnya. Tak lupa kepalanya tertutup oleh topi hitam yang terlihat sangat menawaan. Tapi, tidak dengan raut wajahnya yang terlihat tidak bersahabat. Entah karena apa, ia datang tanpa basa-basi.
"Eh, hai Lam. Baru datang?" Kata ku agak gugup saat melihat tepat pada bola matanya yang berwarna abu. Herlam memutar bola matanya seratus delapan puluh derajat, aku yang mengerti apa maksudnya sedikit gemetar. Ia pasti tidak membutuhkan basa-basi yang aku katakan barusan.
"Tidak perlu tahu. Balik ke pertanyaan awal, bukunya udah ketemu?" Tanya nya mengulang. Aku hanya bisa menyengir kuda, entah harus menggunakan kalimat bagaimana untuk menjawabnya.
"Maaf sebelumnya menyela obrolan kalian berdua, terkhusus anda. Athiya sejak tadi sudah mencarinya, tapi belum dapat juga. Saya di sini sedikit membantu agar cepat ketemu, jadi mohon anda bersabar sebentar. Akan saya usahakan." Kata Fandi menengahi kami berdua. Ia merasa aku sedikit takut berhadapan dengan Herlam.
"Tapi nyatanya bukan membantu, malah mengganggu." Balas Herlam dengan suara yang hampir seperti bisikan, tapi masih bisa terdengar oleh ku dan Fandi. Aku memelototinya, mengatakan bahwa ia harus bersikap sedikit ramah.
Tidak merasa bersalah atas ucapannya barusan, Herlam malah mengajakku untuk segera meninggalkan tempat ini.
"Tapi bukunya belum ketemu, Lam." Kata ku menahan agar tidak pergi dulu dan aku masih ingin mencoba mencari.
"Kita cari di toko buku lain saja, mungkin di sini sudah kehabisan stok." Balas Herlam keukeuh.
"Sebentar tuan, perkenankan saya dan staf saya membantu mecarinya beberapa menit lagi." Kata Fandi mencegah kepergian kami berdua. Herlam menatap tajam ke arah Fandi, meneliti penampilannya dari atas hingga bawah. Fandi yang di tatap seperti itu tidak merasa takut barang sedikitpun, malah merasa tertantang.
"Anda pemilik toko ini?" Tanya Herlam dingin. Ibarat pisau yang baru saja di asah, kalimat yang keluar dari mulut Herlam itu terdengar tajam.
"Saya manager di sini. Dan saya tidak mau ada pengunjung yang merasa tidak puas dengan pelayanan kami." Jawab Fandi lugas. "Dinda, tolong carikan buku yang sedang Athiya butuhkan." Tambahnya dengan intonasi memerintah, menitah mbak Dinda yang sedang membantu pengunjung lain. Terlihat sangat jelas raut wajah mbak Dinda yang sedikit kaget mendengar intonasi Fandi saat ini yang jarang sekali keluar, bahkan bisa di pastikan akupun merasa kaget karena ini adalah untuk yang pertama kalinya.
Dengan cekatan mbak Dinda mencarinya di gudang dalam, aku dan Herlam masih setia menunggu untuk beberapa saat. Semoga saja mbak Dinda nemuin bukunya. Do'a ku dalam hati. Entah mengapa, aku merasa seperti ada perang dingin saat Herlam pertama kali menatap Fandi, dan sebaliknya. Posisi ku saat ini serba salah, tak mau memihak pada salah satunya.
Tidak terlalu lama menunggu, mbak Dinda keluar dari pintu gudang dengan sedikit berlari sambil menenteng sebuah buku yang aku cari sedari tadi. Menyerahkannya langsung pada Fandi, lalu pergi menjauhi tempat kami.
Fandi mengambil kantung kresek dari samping rak yang memang sudah di sediakan, lalu memasukkan buku itu ke dalamnya.
"Nih, sudah ketemu akhirnya. Kamu bawa saja, hitung-hitung sebagai permintaan maaf ku karena tidak bisa mencarinya." Ucap Fandi sambil menyodorkan kantung kreseknya. Aku hendak menolak, tapi suara Herlam mendahului.
"Terima kasih banyak karena anda merasa bersalah. Tapi maaf, saya tidak menerimanya. Saya akan bayar, bahkan dengan sepuluh kali lipatpun." Herlam mengambil dompet dari saku celananya, mengeluarkan beberapa lembar uang lalu menyodorkannya pad Fandi.
"Saya bayar dengan yang barusan saya katakan." Ucap Herlam, tapi Fandi tidak di ambilnya.
"Saya juga sudah mengatakan bahwa saya memberikan buku ini untuk Athiya." Jawabnya sedikit menekan.
"Saya tidak akan mengizinkan Athiya untuk menerima buku itu secara cuma-cuma, terima kasih." Herlam pergi menjauhi tempat kami, mendekat ke arah kasir. Meletakkan uangnya di atas meja kasir dengan kasar, lalu menghampiri ke arah ku lagi.
"Maaf." Kata Herlam seperti bisikan. Aku yang belum mengerti apa maksud dari permintaan maafnya, masih terdiam di tempat. Herlam lalu menarik lengan ku yang tertutup gamis lengan panjang keluar dari toko buku.