GARIS TAKDIR

anis mahdzuroh
Chapter #13

Tertangkap Basah.

Bab Empat, Bagian Empat.


Tak lupa untuk selalu bersyukur tiap waktu pada Sang Mang Pemberi Nikmat di dunia ini. Berkali-kali aku susut air mata yang menetes mengenai pipi kana kiriku sambil menengadahkan kedua tangan meminta ampunan.

Setelah Rayhan mau di bujuk oleh Ibu entah dengan cara apa, aku akhirnya bis tertidur pulas walau hanya dua jam saja. Setelahnya kau terbangun lagi untuk melakukan rutinitas, mendekatkan diri pada sang Ilahi Rabbi. Meminta ampunan atas segala yang telah ku perbuat selama napas menghembus.

Dalam do'a aku selipkan beberapa permohonan agar Dia memberi ku petunjuk untuk ke depannya, juga mengabulkan atau menggantikannya dengan yang leih terbaik lagi.

Entah berapa lama aku mengadu, yang ku ingat hanya saat aku hendak memulai takbiratul ihram jarum jam menunjuk ke angka dua dini hari. Sedangkan sekarang sudah hampir subuh. Aku lanjutkan saja untuk tilawah qur'an dari pada terlelap kembali.

Di tengah bacaan ku, dering ponssel menandakan sebuah pesanmasuk mengusik ke khusyukan ku. Siapa pula pagi-pagi begini mengirimi pesan, seperti tidak ada waktu lain saja selain pagi buta saat ini. Dari pada marah-marah tidak jelas pada si pengirim pesan yang belum ku tahu siapa, lebih baik aku melihatnya saja. Siapa tahu si pengirim dalam keadaan penting. Saat ku baca, isi pesannya sangat singkat.

Gue jemput lu jam satu siang. Kalau lu keberatan kabarin gue.

Dari Herlam, sosok yang akhir-akhir ini sedang mengarungi pikiran ku. Ia akan menjemput ku. Ku tengok dulu pada jadwal harian ku, apakah siang nanti masih ada jadwal lain selain pulang lebih awal atau tidak. Dan, tidak ada. Syukurlah kalau begitu, aku tidak perlu membalas pesannya sekarang. Kalaupun aku balas ia akan heran mengapa aku sudah terjaga di jam begini, dan akan mempertanyakan semua hal.

Aku tidak mau, aku tidak mau menceritakan lebih tentang keluarga ku sebelum aku tahu betul cerita keluarganya langsung dari mulut Herlam. Itu kalimat yang sudah bulat jadi pegangan ku saat ini. Setidaknya aku bisa memegang kepercayaannya lewat cerita itu.

Matahari semakin menanjak menerangi semesta, menghasilkan kehangatan pada para makhluk bumi yang semalam di rundung hujan deras. Aku sudah sampai di kampus tepat pada jadwal setiap harinya. Melaksanakan aktivitas seperti biasa sebagai mahasiswa akhir yang semakin hari semakin menjulang tugasnya, baik dari mata kuliah sehari-hari maupun dari dosen bimbingan.

Ingin rasanya mengeluh dengan semua kegiatan ini yang hampir menguras semua tenaga dan pikiran demi berjalan dengan baik, tapi urung. Karena saat aku ingin mengeluh aku selalu teringat akan masalah yang sedang di hadapi orang-orang di luar sana yang lebih berat dari masalah ku. Mungkin bisa jadi masalah ku saat ini hanyalah secuil masalah kecil menurut mereka yang sudah sering di landa berbagai masalah.

Sangat kebetulan sekali hari ini tidak ada mata kuliah ku yang absen, semua dosen masuk pada waktu yang telah di tentukan. Sehingga membuat ku tak bisa keluar masuk kelas dengan seenaknya. Selama mata kuliah berlangsung aku sama sekali tak menyentuh ponsel ku, entah berapa jam. Sampai panggilan dari Ibu saja tak terangkat tidak seperti biasanya, ia pasti khawatir. Langsung saja ku hubungi lewat pesan singkat bahwa aku sedang di sibukkan oleh berbagai tugas di kampus sehingga tidak tahu ada panggilan masuk.

Tak mau menunggu balasan dari Ibu, aku langsung membuka beberapa pesan yang tertera di beranda ponsel. Dari teman-teman OHQ, kepanjangan dari Organisasi Hifdzil Qur'an; menginformasikan bahwa lusa akan di adakan bakti sosial di daerah panti samping gedung OHQ. Aku balas bahwa akan di usahakan, karena saat ini aku masih di kelilingi tugas. Meminta maaf jikalau lusa tidak bisa ikut serta.

Dan satu pesan terakhir dari Herlam, ia mengatakan bahwa sedang dalam perjalanan menuju kampus ku. Lengkap sudah aku di buru-buru. Belum lagi Salsabila mengajak ku untuk hang out karena akhir-akhir ini kami jarang bertemu, berkali-kali aku meminta maaf karena tidak bisa tapi tetap saja. Dia keukeuh dengan pendiriannya yang membuat ku pusing tujuh keliling. Ku balas pesan Herlam untuk menunggu sebentar karena aku masih mengerjakan beberapa tugas yang harus di kumpulkan sekarang sebelum pulang.

Selesai. Tugas yang harus di kumpulkan sekarang sudah selesai. Aku langsung sedikit berlari menuju ruangan dosen, memberikannya sebelum tenggang waktu habis. Untung saja, dosennya masih mau menerimanya, kalau tidak aku bisa menghapuskan semua jadwal ku sehari ini untuk merevisi.

Sekarang, tinggal kewajiban utama ku sebagai muslim. Melaksakan sholat dzuhur yang hampir setiap hari di kampus. Tak bosan-bosan aku sering bolak-balik ke masjid kampus yang jaraknya tidak terlalu jauh dari gedung fakultas ku.

Meluruhkan semua rasa sombong yang masih menggenang dalam dada di setiap sujud sholat ku, tak lupa untuk selalu bersyukur atas nikmat dan karunia-Nya yang selalu di berikannya setiap saat. Berusaha setenang mungkin saat melaksanakan sholat walau di kejar waktu, tak mau di buru-buru saat aku sedang bersama Tuhan ku.

Selagi aku mengenakan sepatu ku di teras depan masjid, ponsel di saku gamis ku bergetar menandakan adanya sebuah panggilan. Dari Salsabila, pasti dia masih keukeuh dengan tekadnya mengajak ku untuk hang out. Aku langsung menekan tomol hijau dan menyelipkannya di bahu sambil aku melanjutkan memakai sepatu.

"Asaalamu'alaikum." Sapa ku pertama kali. Setelah salam ku di jawab, ia langsung merengek lagi. Sudah kuduga, ia akan menggunakan berbagai macam cara untuk membujuk ku agar luluh. Andai saja aku tidak ada janji dengan Herlam atau siapapun aku akan mengiyakan langsung, lagipula aku juga ingin merilekskan otak agar tidak terlalu menguap karena tugas. Tapi, mau bagaiman lagi. Aku harus tegas pada Salsabila bahwa aku tidak bisa, walau nantinya dia akan marah ataupun kecewa pastinya hanya sementara.

Lihat selengkapnya