Bab Enam, Bagian Satu.
"Bu, makan dulu ya." Pinta ku untuk mengajak Ibu yang belum makan sedari dua hari yang lalu, masih meringkuk dalam ranjang besarnya sambil menangis di balik selimut tebal. Tidak melakukan apapun kecuali menangis.
Dua hari yang lalu, setelah satu minggu kepergian Ayah yang pamit untuk pindah tugas di luar negeri. Kami di kejutkan dengan kabar bahwa Ayah sudah tidak bernyawa lagi, tidak akan bisa bertemu dengan kami lagi. Kami kaget bukan kepalang, sampai membuat Ibu pingsan di tempat setelah menerima telepon dari beberapa teman Ayah yang pergi bersama.
Setelah kejadian itu, Ibu berubah seratus delapan puluh derajat. Jarang keluar rumah, hanya berdiam diri di kamar. Tidak pernah menanyai kabar kami juga aktifitas sehari-hari. Ia hanya meratapi dirinya sendiri tanpa memikirkan kami, kedua anaknya yang sama-sama terluka. Hingga pernah suatu masa aku sangat membenci Ibu karena keegoisan dirinya tanpa mau peduli dengan Rayhan yang masih SMP. Aku Hampir pergi meninggalkan rumah, hendak hidup mandiri tanpa ada bantuan siapapun. Tapi takdir berkata lain, aku mendengar kabar bahwa Ibu tidak baik-baik saja. Dokter memvonis umurnya sebentar lagi, hanya tinggal menghitung bulan.
Aku sedikit menolak atas tuduhan Ibu di vonis dan hanya akan hidup beberapa bulan. Dokter bukanlah Tuhan yang tahu berapa lama lagi umur manusia, tidak akan pernah tahu.
Dari sana, aku berubah pikiran. Merawat Ibu lebih baik dari pada meninggalkannya di masa-masa seperti ini. Tidak mau di anggap anak durhaka seperti malin kundang, akupun dengan telaten merawatnya. Menyuruhnya agar diam saja di rumah, tidak usah banyak bekerja. Masalah itu, biar aku yang menanggung. Aku sudah besar, cukup mengerti akan kondisi keluarga yang memang bertepatan dengan Ayah mendapat warisan dari nenek. Dengan bantuan sepupu ku, aku mengelola supermarket yang sekarang sudah bercabang walau baru satu.
Tidak pernah keluar rumah sekedar untuk jalan-jalan santai, apalagi bepergian bersama teman-teman. Aku menyibukkan diri dengan semua yang harus aku perbaiki setelah kepergian Ayah, mengurus Ibu, juga mengontrol pendidikan Rayhan. Hanya Salsabila saja yang sesekali main ke rumah ingin melihat kondisi Ibu juga menghibur ku, sisanya tidak ada satu temanpun yang pernah berkunjung setelahnya. Dan aku tidak akan mempermasalahkan, karena itu hak masing-masing. Aku, aku. Kamu, kamu.
Tuhan pastilah sangat tahu apa yang aku rasakan saat itu. Merasa terbebani akan semua masalah yang hampir semuanya di tanggung oleh ku sendirian. Rayhan membantu, tapi aku tidak mau masa remajanya terhalang oleh keadaan. Biar aku saja, Rayhan jangan.
Entah kapan tepatnya, Ibu sedikit membaik. Jarang menangis di hadapan aku dan Rayhan, jarang pula mengurung diri di kamar. Walau sakitnya masih dalam proses penyembuhan, aku sangat bersyukur. Setidaknya, sosok yang aku rindukan sudah tumbuh kembali untuk menguatkan.