GARIS TAKDIR

anis mahdzuroh
Chapter #19

Tentang Menguatkan.

Bab Enam, Bagian Dua.


"Aku nggak akan lupa itu, Lam." Lirih ku sambil menyusut air mata yang entah sejak kapan menetes, napas ku naik turun tak beraturan. Emosi ku tidak bisa terkendalikan. Ingin rasanya aku pergi dari sini menghampiri Rayhan dan langsung menghambur dalam pelukannya, tapi aku tidak bisa. Posisi ku saat ini sangat lumayan memakan waktu, dan aku harus bisa menahannya.

"Dan bodohnya aku sampai lupa akan perjanjian itu, perjanjian yang membuat ku termakan ucapan ku sendiri." Ku tundukan wajah ku ke dalam sela kedua lutut, bersembunyi agar tidak kentara menangisnya.

Sekali lagi, aku menangis di hadapan Herlam. Mengeluarkan berbagai keluh kesah yang memang sedari dulu aku pendam sendirian dan akhirnya aku keluarkan. Herlam hanya diam, mendengarkan semua keluhan ku dengan sabar. Tidak akan menyela, apalagi menyetop.

"Lu pernah bilang, Ya. Setiap manusia yang minta maaf ke Tuhannya, pasti di maafkan. Begitupun dengan Rayhan, dia pasti maafin lu. Apalagi dia ngerti agama, masa iya begitu." Komentar Herlam pada akhirnya yang sudah tidak kuat untuk melontarkan beberapa kalimat menenangkan. "Cara dia nunjukin sayangnya itu kayak gitu, Athiya. Dia nggak mau lu sakit nambah parah, nggak mau lu mati cuma gara-gara mikirin keadaan Ibu sama adik lu." Aku masih bergeming, mendengarkan baik-baik dalam setiap kalimat yang keluar dari mulutnya. Tangis ku sudah berhenti, tinggal jejaknya yang tidak akan cepat pudar walau dengan berbagai cara yang sudah di coba.

"Rayhan jauh lebih beruntung dari pada gue, Ya." Keluhnya yang langsung membuat ku heran. Apa Herlam iri akan takdir Rayhan yang sudah di tetapkan Tuhan bertahun-tahun sebelum kami lahir? "Dia masih bisa tahu apa sakit lu sebelum ajal datang. Tapi gue? Nggak bisa, Athiya. Gue ngerti pas nyokap gue udah di kubur lima tahun setelahnya." Akhirnya, Herlampun terpancing akan kalimat ku yang terlalu negatif thingking. Merasa bahwa dirinyalah juga tidak bisa melewati berbagai cobaan ini sendirian. Ia butuh teman yang tidak hanya memberi saran masuk untuk ke depannya, tapi juga butuh akan sosok yang dengan senang hati mengerti keadaannya tanpa harus ia jelaskan.

Aku terkekeh sedih, sangat jahat sekali diri ku ini tidak pernah berpikir bahwa Herlampun sama-sama terlukanya akan masa lalu. Dan bodohnya aku, hanya memikirkan diri ku sendiri tanpa memkirkan perasaannya. Kekehan ku masih saja belum berhenti, Herlam langsung melirik ku heran. Wajahnya terlihat panik, tapi entah karena apa.

"Athiya, lu nggak apa-apa?" Tanya nya menatap ku lekat. Aku hanya mengangguk, berbarengan dengan luruhnya air mata yang baru aku sadari. "Okey, sorry. Gue tahu gue nggak seharusnya ngomong kayak gitu, jangan terlalu di pikirkan." Tambahnya lagi yang masih panik.

"Aku yang harusnya minta maaf, Lam. Dengan cepat kamu bisa percaya sama aku, sedangkan aku sebaliknya. Aku nggak pantas jadi teman mu, Lam." Kata ku lirih di selingi isak tangis. Herlam menggeleng keras, sambil sedikit menenangkan dirinya sendiri.

"Yang nentuin pantas nggaknya lu jadi teman gue itu cuma gue sendiri, orang yang ngerasain gimana saat lu berinteraksi sama gue. Gue nyaman punya teman kayak lu Athiya. Walaupun banyak orang yang nentang tentang pertemanan kita, gue nggak akan pernah mau kalau di suruh jauhin lu." Kata Herlam yang membuat ku benar-benar tidak bisa menjawab apapun.

Hening untuk beberapa saat. Aku yang bingung harus berucap bagaimana, akhirnya hanya diam. Menunggu Herlam berbicara lagi, karena aku rasa ia belum selesai mengungkapkan kalimatnya.

"Sekarang, lu nganggep gue teman sesungguhnya kan?" Tanya Herlam menatap ku lekat. Aku mengangguk mantap. Kali ini, aku memang sudah benar-benar percaya pada Herlam. Ia pria yang baik dan akan selalu seperti itu, semoga saja. "Sebagai teman sejati, dia akan ngorbanin semuanya demi kebahagiaan temannya. Begitupun dengan kita yang sudah sepakat menjadi teman. Gue mau lu jangan pernah pendam masalah lu sendirian, walau gue tahu lu punya Tuhan yang selalu dengerin keluhan lu. Tetap saja, gue pengen lu selalu cerita ke gue kalau lagi ada masalah. Nggak cuma lu, gue juga sama. Kalau gue punya masalah gue cerita ke lu, dan lu harus dengerin baik-baik cerita gue." Herlam menerangkan dengan percaya diri. "Gue pengen kita saling menguatkan. Saat gue ataupun lu di tanya tentang masa lalu yang pastinya akan menoreh luka baru yang belum sembuh, kita bisa saling bantu buat ngobatinnya bareng-bareng. Bahkan kalau perlu, kita nggak harus terluka saat orang membahas masa lalu itu. Gue pengen kayak gitu, Athiya." Tambah Herlam lagi, napasnya menderu kencang, sangat terdengar sekali di telinga ku yang tertutup oleh kain kerudung.

Kalimat demi kalimatnya itu yang membuat ku tak mampu berkata-kata lagi. Aku malu, bahkan sangat. Mudah sekali Herlam percaya pada orang baru seperti ku, padahal aku sangat tahu ia pernah di khianati oleh orang yang sangat ia percayai. Apakah semudah itu ia mengikhlaskan? Atau mungkin, aku saja yang terlalu mendramatisir semuanya?

Sekali lagi, aku mengangguk mantap. Mengatakan bahwa aku akan berusaha untuk sedikit terbuka dengannya yang sekarang sudah menjadi teman sesungguhnya, mungkin seperti sahabat.

"Makasih Lam, sudah mau menerima aku buat jadi teman mu." Dengan sungguh-sungguh aku berterima kasih padanya, entah harus bagaimana lagi untuk mengungkapkan bahwa aku sangat bersyukur sekali mendapat teman seperti Herlam.

"Nih, cuci dulu muka lu biar nggak terlalu terlihat habis nangis." Herlam menyodorkan sebotol air mineral kepada ku, menitah ku untuk mencuci muka. Aku ambil dengan suka cita, lalu sedikit menjauh dari tempat duduk untuk mencuci muka di depan pohon rindang. Tak lama, aku kembali lagi dan di sodorkan selembar tisu di hadapan ku. "Lap muka lu pake itu." Katanya menjawab rasa penasaran ku, mengelap sisa-sisa air yang masih tergenang di wajah ku dan membuang bekasnya ke tong sampah terdekat. Berterima kasih lagi karena sudah sedikit membantu menghilangkan bekas merah di mata dan pipi ku.

"Mau balik ke tenda sekarang?" Tanya Herlam setelah menengok ke arah jam tangannya. Aku mengikut, menengok sudah jam berapa sekarang.

Pantas saja. Hari sudah mulai gelap, mengilaukan warna jingga berpadu biru menandakan sudah mau masuk waktu sholat maghrib. Aku mengangguk, sebentar saja aku telat pulang Salsabila akan menelpon ku beribu-ribu kali. Dan aku tidak mau itu terjadi, sangat memalukan.

Kami berjalan beriringan, dengan aku di sebelah kanan dan Herlam sebelah kiri. Hanya berjarak setengah meter, tapi cukup agar tidak terlalu dekat ataupun terlalu jauh.

"Gue tebak, sahabat lu pasti ngomel-ngomel lihat mata sembab lu Athiya." Kata Herlam sambil terkekeh. Aku meringis, memang itulah yang sedari tadi terpikir dalam otak ku. Salsabila akan mengeluarkan semua sumpah serapahnya yang sangat tidak berfaedah itu. Tak masalah jikalau aku saja yang di marahi, aku sudah terlalu terbiasa. Berbeda dengan Herlam yang aku terka tidak pernah, dan sekarang akan sama nasibnya seperti ku.

"Aku pulang sendiri saja, Lam. Kamu langsung pulang, nggak usah khawatir sama aku." Kata ku memberi usul. "Lagi pula, kamu pasti di tunggu sama teman-teman mu." Tambah ku lagi. Semoga saja ia mau akan tawaran ku. Ia terkekeh, membiarkan pertanyaan ku mengudara tanpa ada jawaban.

"Gue tahu lu nggak mau gue di marahin sama sahabat lu." Katanya setelah beberapa saat diam. "Lagi pula, dompet sama hp gue kan ada di dia." Aku menghentikan langkah ku, membiarkan Herlam berjalan terus mendahului ku. Menepuk kening karena lupa bahwa sebelum pergi Herlam memberikan dompet dan ponselnya pada Salsabila.

Herlam berhenti, baru sadar kalau aku tidak mengikuti langkahnya. Berbalik badan dan memundurkan lagi langkahnya.

"Kenapa?" Tanya nya penasaran, mungkin tidak biasanya aku berhenti di tengah perjalanan seperti ini.

"Nggak apa-apa." Jawab ku langsung tanpa ada jeda. Herlam mengerutkan dahinya, pasti ia belum puas dengan jawaban ku barusan. Tak mempedulikan Herlam yang masih diam di tempat, aku lanjutkan saja langkah ku mendahului langkahnya. Ia menyusul dengan sedikit terburu, mensejajari langkah ku.

Lihat selengkapnya