GARIS TAKDIR

anis mahdzuroh
Chapter #20

Bersengketa.

Bab Enam, Bagian Tiga.


Sepulang dari lereng gunung Gede, aku langsung merebahkan diri di kamar. Berbasa-basi sebentar dengan Ibu yang sedang di ruang keluarga duduk bersama Rayhan. Sedikit susah saat id tanya mengapa kaki ku pincang sebelah, jadi ku jawab saja karena tidak sengaja terjatuh. Walau Ibu kurang percaya, ia tetap mengizinkan ku untuk segera istirahat. Tapi, tidak dengan Rayhan. Ia tidak mengatakan sepatah katapun. Sepertinya apa yang Salsabila katakan memanglah benar, ia akan memberitahukan Rayhan. Dengan diamnya Rayhan pastilah ada makna di baliknya, dan aku harus menyiapkan diri untuk segala bentuk jawaban yang akan terlontar dari mulut Rayhan.

Setelah beristirahat beberapa jam, waktu menunjukkan pukul sebelas tiga puluh. Pasti Ibu sedang menyiapkan makan siang. Aku keluar kamar menuju dapur, dan benar saja Ibu sedang bergelut dengan berbagai macam bahan olahan yang hendak di makan pada siang hari ini.

"Bu, biar aku bantu." Aku berucap saat baru sampai di dapur, dengan senang hati Ibu memberikan beberapa sayuran yang harus aku cuci dan potong-potong.

"Memang sudah kenyang istirahatnya?" Tanya Ibu saat aku hendak memotong sayuran. Aku mengangguk.

"Dua jam itu sudah lebih dari cukup, Bu." Jawab ku yang langsung melanjutkan.

Tidak terasa, adzan dzuhur sudah teerdengar dari speaker masjid komplek, masakan yang kami berdua masakpun akhirnya sudah siap. Menata semua menu di atas meja makan, juga menyiapkan berbagai alat makan agar setelah kami sholat bisa langsung makan. Tak terkecuali jika Rayhan belum pulang dari masjid.

Melaksanakan sholat dzuhur berjamaah bersama Ibulah yang aku rindukan dari dua hari yang lalu, mendengar suara lirihnya saat meminta ampunan untuk segenap keluarga tak luput dari salah satu do'anya. Bahkan terkadang Ibu bisa duduk berjam-jam di atas sajadah hanya untuk mengingat segala kekuasaan-Nya, dengan dzikir dan bacaan ayat suci al qur'an yang di baca dengan sangat tartil menambah nilai plus bagi siapapun yang mendengarnya. Sangat merdu, juga sangat menenangkan hati yang sedang di timpa gundah gulana.

Hampir setengah jam dari kami selesai sholat, kami masih belum makan siang karena harus menunggu Rayhan yang belum pulang. Kemana sebenarnya dia? Jam dinding sudah menunjuk ke arah setengah dua, sedangkan Ibu belum makan sama sekali. Sudah berkali-kali aku menyuruh Ibu makan duluan tidak perlu menunggu Rayhan, dan berkali-kali juga Ibu menolak.

Karena itu, aku kesal sekali dengan Rayhan. Apa dia lupa kalau Ibu selalu menunggu anaknya untuk makan bersama jika tidak ada kabar? Sudah tiga kali aku mengiriminya pesan singkat, menyuruhnya segera pulang dengan memberitahu Ibu belum makan siang menunggunya. Bagi ku, tak apa terlewat sekali makan siang. Tapi tidak bagi Ibu yang memang masih dalam masa penyembuhan, apalagi beberapa minggu ia ngedrop selama beberapa hari.

Akan aku tunggu selama lima menit lagi, jika Rayhan masih belum ada tanda-tanda dia akan pulang atau tidak ada balasan akan aku telpon dia berkali-kali. Masa bodo dengan gerutuannya yang akan membuatnya panik.

Sudah. Lima menit sudah berlalu beberapa detik yang lalu. Aku hubungi saja ponselnya yang belum di angkat sampai di dering ke tiga. Ku coba sekali lagi, semoga kali ini bisa tersambung. Di dering kedua, Rayhan menjawabnya. Langsung saja aku memarahinya.

"Kamu nggak mikir apa kalau Ibu dari tadi belum makan nungguin kamu?" Aku berkata tajam. Lagi pula siapa yang tidak merasa kesal jika Ibunya belum makan karena menunggu seseorang yang mungkin sama sekali tidak memikirkannya.

"Maaf kak, Ray lupa. Sekarang Ray pulang, kalau bisa suruh Ibu makan duluan." Jawabnya santai. Ingin sekali aku mencabik-cabik wajah tampannya karena mendengar jawaban seperti ini, mudah sekali ia menyuruh Ibu duluan. Memang sedari tadi aku tidak membujuknya?

Tak peduli, aku mengomel panjang lebar. Memarahinya karena lupa akan kebiasaan Ibu setiap hari. Tapi, tidak ada jawaban darinya. Ku lirik ponsel yang masih dalam nada panggilan, aku kira Rayhan mematikannya. Hanya terdengar suara grasak-grusuk, entah suara apa itu. Aku penasaran, mencoba untuk memindahkan mode telpon menjadi video call. Anehnya, Rayhan langsung menolak. Tidak biasanya ia seperti ini, menambah rasa penasaran ku yang memang sudah dari awal merasa penasaran.

Tidak mau kalah, aku menajamkan indera pendengaran ku agar dapat mendengar sedikit informasi yang akan menjawab semuanya. Menanti beberapa menit sampai akhirnya mendengar sumpah serapah dari seseorang. Apakah Rayhan sedang dalam masalah? Atau bagaimana?

Aku tidak mau berprasangka buruk terlebih dahulu, menenangkan semua pikiran agar tidak tercerai berai dari fokus mendengarkan. Semakin lama, semakin terdengar suara seseorang yang sedang mencaci maki. Apakah orang itu sedang mencaci Rayhan, atau siapa?

"Ray?" Tanya ku pada akhirnya. Sekesal apapun aku pada Rayhan, aku tidak akan pernah merasa tenang jika ia sedang tidak baik-baik saja.

Rayhan tidak menjawab, menambah saja rasa khawatir ku padanya. Ya Allah, tolong lindungilah Rayhan adik ku. Berkali-kali ku lafalkan do'a agar Rayhan dalam lindungan-Nya, berkali-kali juga aku berusaha untuk tenang agar Ibu tidak merasa khawatir. Tiba-tiba panggilan ku di matikan secara sepihak, tanpa sepengetahuan ku.

Sekarang, lengkap sudah kekhawatiran ku. Mengkhawatirkannya yang entah sedang berada dimana, juga aku ragu untuk memberitahu Ibu yang sebenarnya. Mungkin untuk kali ini aku akan sedikit berbohong dulu pada Ibu, mengabarkan bahwa Rayhan tidak bisa pulang segera dan menyuruh kami makan lebih dulu. Itulah pilihan yang terbaik sebelum aku tahu semuanya yang sedang terjadi pada Rayhan.

Aku menghampiri Ibu yang sedari tadi sangat sabar menunggu kedatangan Rayhan, tersenyum lembut padanya untuk menghilangkan sedikit kegugupan yang entah sejak kapan sudah terasa dalam dada. Sedikit terbata aku dalam mengatakannya, tapi segera tertutup oleh aku yang cepat-cepat bersiap pamit ada pekerjaan mendadak. Meminta maaf karena aku tidak bisa menemaninya makan siang kali ini.

Aku langsung bersiap secepat kilat, mengambil tas selempang yang terisi oleh dompet dan ponsel saja. Saat keluar kamar, aku sempati untuk menuju ruang makan melihat apakah Ibu sudah makan atau belum. Dan syukurnya sudah, tanpa banyak tanya Ibu langsung makan duluan.

"Bu, aku pamit ya. Maaf nggak bisa nemenin." Ku salami tangannya yang sudah mulai keriput, pamit hendak keluar sebentar dan berjanji tidak akan lama.

"Assalamu'alaikum." Tanpa menunggu jawaban dari Ibu, aku sudah keluar lebih dulu. Menyetop ojeg yang selalu berlalu lalang di sekitar komplek membuat ku lebih mudah mencari kendaraan umum. Aku sudah tahu dimana lokasi Rayhan. Beberapa menit yang lalu sebelum aku keluar dari kamar, aku melacak keberadaannya lewat GPS yang tersambung pada ponsel ku. Tempatnya tidak terlalu jauh, cukup memakan waktu lima belas menit saja.

Kini tibalah di tempat yang GPS Rayhan tunjukkan, sebuah gedung yang terlihat kuno namun bersih terurus. Tidak terlihat aneh, sama seperti gedung lainnya yang bersih dan berjajar rapih. Yang membedakannya hanyalah sepi, tidak ada seorangpun yang berlalu lalang di halaman depan juga di lobinya. Mungkin gedung ini tempat untuk orang-orang seperti Rayhan, yang tidak suka keramaian sehingga menyewa beberapa ruangan untuk sebuah pertemuan. Rayhan memanglah seperti itu, rela mengeluarkan uang banyak hanya untuk sebuah pertemuan yang menurut ku tidak terlalu penting.

Aku langsung memberikan beberapa uang lembar pada tukang ojeg sambil berterima kasih, lalu berlalu masuk yang langsung di suguhi dengan satu meja besar tempat resepsionis. Seorang wanita cantik menyapa ku dengan ramah, bertanya ada yang bisa ia bantu akan kedatangan ku kemari.

Lihat selengkapnya