Bab Tujuh, Bagian Satu.
Hari demi hari berlalu dengan cepat, aku yang memang tidak pernah memendam rasa benci dalam dada lama-lama lambat laun memaafkan kesalahan yang telah Rayhan perbuat. Sudah hampir dua minggu yang lalu kejadian itu terjadi, tapi masih sangat teringat jelas dalam kepala bagaimana Rayhan memukul hidung Herlam hingga berdarah.
Beberapa hari yang lalu juga, Rayhan aku paksa untuk segera minta maaf pada Herlam. Mengakui kesalahannya yang sudah keterlaluan semena-mena dengan tidak mengetahui inti masalahnya terlebih dahulu. Apalagi Herlam lebih tua di bandingkan Rayhan sendiri, menambah nilai ketidaksopanannya.
Awalnya Rayhan menolak untuk aku antar meminta maaf pada Herlam, ia akan pergi sendiri nanti. Tapi aku kurang percaya, alhasil aku mengancamnya dengan jurus andalanku. Tak perlu tahu bagaimana caranya, yang terpenting hanyalah Rayhan mau walau sedikit terpaksa.
Herlam, sosok yang aku kira akan marah saat melihat Rayhan datang ke kantornya itu bersikap sebaliknya. Dengan baik hati ia menyambut kedatangan kami yang tiba-tiba, sedikit bingung harus bagaimana karena ia sudah memaafkan kesalahan Rayhan sedari awal. Tidak mau memperpanjang, apalagi menuntut karena pukulan Rayhan yang membuatnya masuk rumah sakit dan di rawat selama dua hari.
Walau begitu, Rayhan menyelingi permintaan maafnya dengan menekankan bahwa ia masih tidak percaya pada Herlam untuk menjagaku. Menyuruhnya untuk lebih menjaga jarak agar tidak saling suka nantinya. Sudah bisa di pastikan kalau Herlam akan menentangnya walau ia tidak menjawab pernyataan Rayhan, karena secara Herlam yang memang berwatak keras di satukan dengan Rayhan yang sama-sama kerasnya.
Setelahnya, Herlam meminta izin untuk berbicara denganku tanpa Rayhan. Dan di tolak mentah-mentah karena tidak mau aku terluka lagi. Aku memaksa Rayhan agar ia mengizinkan, tak apa di ikuti dari jarak yang memang tidak kentarapun tidak masalah.
Kami sudah tidak ragu lagi untuk saling mengawali pembicaraan, sehingga pada saat itu kami berdua secara tidak sengaja berbarengan menanyakan kabar. Seperti saat di lereng gunung kala itu. Tidak lama, hanya bertukar sapa sekedar mengurai kesalahpahaman kemarin. Sekali lagi aku minta maaf atas nama Rayhan sebesar-besarnya pada Herlam, merasa akulah yang bersalah karena tidak langsung memberitahu Rayhan bagaimana kejadian kejadian aslinya menurut sudut pandangku. Bukan malah tidur diam saja seperti orang bisu.
Herlam dengan sabar menenangkanku agar tidak usah khawatir, ia berjanji tidak akan pernah membawa Rayhan sampai ke jalur hukum sedikitpun. Jikalau ada diantara keluarganya yang hendak menuntut Rayhan, Herlamlah orang yang pertama kali menolaknya.
Tidak sampai situ saja. Hampir setiap hari Tuhan selalu mempertemukan kami berdua dimanapun, terkadang di kampus bahkan di tempat-tempat yang sering aku singgahi untuk sekedar beristirahat sebentar. Entah memang itu yang Tuhan kehendaki sendiri atau ada campur tangan Herlam yang ikut andil untuk mengawasi gerak-gerikku sehari-hari.
Terkadang aku merasa aneh sendiri akan perilaku diriku sendiri saat berhadapan dengan Herlam. Merasa nyaman, bahagia, dan terkadang rindu tiba-tiba. Apakah aku jatuh hati padanya? Atau hanya sekedar kagum akan kemurahhatiannya yang selalu bersikap baik pada ku? Entahlah, aku sendiri merasa bingung.
Pernah aku tanyakan sekali pada Devano bagaimana keseharian Herlam jika berinteraksi dengan rekan wanitanya. Apakah ia ramah atau malah kaku. Anehnya, saat Devano di tanya seperti itu ia malah tertawa terbahak, tidak mempedulikan aku yang sedari tadi menunggu jawabannya.
"Perhatian yang dia kasih ke lu beda dari yang lain, nggak pernah ada yang mau deketin cowok kayak Al yang suka ngamuk kalau lagi sensi kecuali lu. Mungkin lu pawang yang selama ini dia cari." Jawaban Devano memanglah seperti tidak mencerminkan dirinya sebagai orang yang berwibawa di kantornya, dengan kalimat yang senewen hampir sama dengan orang yang tak punya tata krama.
Aku yang kala itu tidak mengerti sama sekali, kini sedikit paham. Mungkin di baliknya terdapat makna bahwa aku istimewa di mata Herlam, menggelikan memang saat aku dengan percaya dirinya berpikiran seperti itu. Siapa aku yang dengan seenaknya mengambil kesimpulan bahwa Herlam suka padaku?
Dan pertanyaan intinya ialah apakah aku yang suka pada Herlam?
Jujur saja, aku sama sekali belum pernah merasakan jatuh cinta. Apalagi hingga menjalin kasih seperti teman-teman SMA dulu, aku tidak pernah memikirkan hal itu karena masih banyak hal yang harus aku urus.