Bab Tujuh, Bagian Dua.
"Athiya." Pekik Herlam saat melihat seluitku berlari keluar menjauhi gerbang kampus, tidak menghiraukan panggilannya yang membuat banyak pasang mata menatapnya dengan pandangan heran. Aku tergesa dalam berjalan, masih tidak mau berkomunikasi dengannya terlebih dahulu selama beberapa waktu.
Tidak mau kalah, Herlam menyusulku dengan berlari. Masa bodo dengan pandangan menyelidik orang-orang yang berlalu lalang hendak pulang, ia tetap berlari menyeimbangi langkahku. Saat jarak kami sudah terkikis, Herlam langsung mencekal lenganku yang terhalang kain baju yang panjang. Aku memberontak, hendak menyingkirkan cekalannya yang susah di lepaskan. Terasa sakit karena memang aku yang mencoba berbagai cara agar terlepas.
"Lepas, Lam." Desisku tajam, tidak mau menatap netra matanya yang akan membuat semua orang terpesona.
"Kenapa lu ngehindar kalau ketemu gue?" Tanya Herlam sambil menguatkan cekalan lengannya padaku agar tidak terlepas.
"Aku nggak ngehindar." Aku menyangkal, sambil melihat sekeliling mencari seseorang yang aku kenal dan bisa di mintai bantuan agar pergi dari sini. Dan mungkin keberuntungan tidak sedang berpihak padaku. Tidak ada seorangpun yang aku bisa mintai pertolongan, bahkan saat aku memanggil beberapa orang aku kenal mereka malah tidak menghiraukanku.
"Dari pada kayak gini mending lu diem, Athiya. Lu sama aja nyakitin diri lu sendiri." Herlam berkata tajam, mungkin ia sedikit kewalahan mengatasi berontakan yang aku lakukan sedari tadi.
Aku tak menggubris, masih saja memberontak yang akhirnya terlepas. Hendak lari menjauh tapi langsung dengan cekatan Herlam menarikku ke arah parkiran khusus dosen yang sangat sepi, mendekati mobilnya yang bertengger manis di jajaran mobil mewah lainnya. Tidak perlu di pungkiri, melakukan hal seperti ini mungkin sangat mudah bagi seorang Herlam yang pasti sudah banyak kolage yang percaya padanya.
Herlam menyudutkanku dengan menempelkan punggungku ke badan mobil, terlalu dekat jarak antara kami berdua yang membuatku lebih sulit lagi untuk mengeluarkan diri dari kungkungannya.
"Lam, jangan begini. Aku takut orang melihat kita yang nggak wajar seperti ini, aku mohon lepasin." Aku memohan agar Herlam mau melepaskan kungkunganku, memberi sedikit jarak saja sudah cukup bagiku dari pada seperti sekarang.
Ia tak mengindahkan perkataanku, malah menatap tajam manik mataku dengan sangat intens. Aku takut, di tempat sepi seperti ini Herlam akan melakukan hal aneh. Aku lebih berontak, lebih baik seluruh tubuh terluka dari pada harag diriku yang hilang.
"Apa lu udah ngak mau punya temen kayak gue?" Aku terdiam seketika, mencerna lebih dalam pertanyaannya putus asa. Baru kali ini aku mendengar suaranya yang sudah tidak mempunyai gairah hidup, seperti benar-benar mati rasa. "Gue emang sadar diri dari awal Athiya, kalau gue nggak pantas jadi temen lu. Tapi apa hidup ini adil sampai alam semesta nggak ngizinin kita buat sekedar jadi temen?" Mata Herlam sudah berkaca-kaca, menahan tangis agar tidak jatuh mengenai pipinya. Di saat seperti inipun, ia mengatakan tidak mau terlihat menyedihkan di hadapanku.
Sungguh, aku tidak pernah memikirkan bagaimana perasaan Herlam yang sejak beberapa hari yang lalu aku hindari. Apakah ia merasa ada yang salah hinga membuatku menjauh, atau ada sesuatu yang membuatku tidak nyaman dengan perlakuannya selama ini? Herlam bertanya semua itu dalam satu kedipan mata, tidak menghiraukanku yang sudah sangat merasa bersalah hingga lebih dulu meneteskan air mata.
"Gue nggak suka lihat lu nangis, Athiya." Herlam menghapus jejak air mataku yang berguling di pipi, dengan ibu jarinya yang terasa sangat lembut saat menyentuh kulit wajahku. Tidak merasa bersalah atau bagaimana, ia malah mengelus berkali-kali. Aku sendiri tidak bisa menolak, apalagi menghindar.
"Lam, di ajaranku kita nggak seperti ini, tolong kasih jarak." Akhirnya aku bisa mengeluarkan satu kalimat penolakan, aku tidak bisa berlama-lama seperti ini.
Herlam menghentikan elusannya, menjauhkan jemarinya dari wajahku yang sekali lagi meneteskan sebulir air mata. Hanya menghentikan elusan, tanpa menjauhkan dirinya untuk memberi sedikit jarak pada kami. Ia menggeleng, tidak mau menuruti perkataanku barusan.