Garis Terdepan

Rini Lakmita Dewi
Chapter #2

Lepas kangen

Rasanya sudah lama tidak merasakan ini, bisa berduaan bersama Ibu setelah sekian lama kita terpisah jarak, rasanya waktu cepat berlalu, jika ku ingat sudah hampir 2 tahun masak berdua dengan Ibu, itu saat Ibu mengunjungiku ke Aussie

Saat ini pukul 05.30 pagi, suasana masih sepi. Aku senang bangun pagi dan memasak bersama Ibu, hal yang tidak pernah Aku dapatkan di Aussie. Mungkin hal ini akan sering Aku lakukan karena Aku belum mendapatkan pekerjaan baru.

Aku cukup pandai memasak, Jika mau menyombongkan diri Aku pernah freelance menjadi chef di hotel besar di Aussie. Bahkan Aku sempat membuka kedai kecil dipinggir kota bersama beberapa teman, namun itu tidak bertahan lama karena jam kuliah yang menuntut kami untuk fokus membuat kedai kami tutup.

Hari ini Mba Inah tidak datang, sudah seminggu kata Ibu, karena Anaknya dikampung sakit, jadi sudah seminggu ini juga Ibu dirumah sendiri. Ibu sedari tadi bercerita tentang bagaimana Ia mengusir rasa sepinya jika Mba Inah tidak datang.

Dengan sambil mengiris bumbu Ibu terus bercerita, Aku benar - benar merasa bersalah jarang pulang setelah mendengar semua cerita Ibu, harusnya Aku lebih memikirkan Ibu dari pada kenyamananku sendiri.

"Danisa ngga pulang - pulang Bu?".

Ibu menggeleng sambil tersenyum. "Sama kaya kamu, Danisa bilang dia banyak kegiatan yang ngga bisa ditinggal".

“Ibu ngerasa, Anak Ibu itu Zidan, Ibu sakit Zidan yang anter, Ibu mau ngemall ya sama Zidan, kadang Ibu kasian sama Zidan jadi kaya simpanan Tante tante”. Lanjut Ibu sambil tertawa renyah.

"Ibu". Gumamku sambil memeluk Ibu, suara Ibu yang bergetar benar - benar cukup untuk melukiskan kesepiannya.

"Ibu setiap hari berdoa kamu itu putus sama pacarmu yang bule itu, Ibu takut kamu menetap disana, susahkan Ibu kalo kangen kamu nanti, lagian ngga cocok Ibu sama makanan bule".

Aku tertawa mendengar ucapan Ibu, jika Aku ingat - ingat sudah lama Aku tidak bicara sesantai ini dengan Ibu, karena Aku pikir tidak perlu bercerita banyak karena akan membuat Ibu semakin merindukanku, jadi setiap menelpon Ibu aku hanya mendengarkan ceritanya saja itupun tidak lebih dari 10 menit. Rasanya Aku ingin mengulang waktuku kemarin, agar tidak merasa bersalah begini.

".. kamu tahun ini 28 lho Dan".

Ini Ibu, apapun yang kami ceritakan arahnya akan kesana.

"Terus?". Seperti biasanya, Aku pura - pura tidak tahu.

"Ibu udah pengen gendong cucu".

Aku menarik nafas panjang, Aku rasa saat ini Ibu sadar jika Aku sedikit kesal, ini juga alasan Aku jarang menelpon Ibu, Aku malas jika Ibu memintaku segera menikah, apalagi jika berusaha mengenalkanku dengan anak temannya, bahkan Ibu juga pernah menyarankan Aku dengan Zidan saja.

Jika ditanya, Aku juga ingin menikah, tapi tidak juga asal menikah karena umurku sudah hampir kepala tiga, Aku juga tahu Ibu begini karena semua anak teman - temannya seusia ku sudah menikah dan memiliki anak, tapi bukan berarti Aku membenarkan sikap Ibu memaksaku untuk segera menikah.

"Bu Dania juga mau nikah, tapikan nikah ngga cuma kasih cucu buat Ibu". Aku tidak tahu bagaimana perasaan Ibu mendengar ucapanku. "Kalo udah saatnya Dania akan menikah Bu".

"Iya Ibu tahu, tapi mulailah kamu buka hati".

Aku sudah buka hati Ibu, sudah sangat lebar jika Ibu mau tahu, hanya memang tidak ada yang mau denganku, sekalipun ada Aku tidak suka dengannya, ingin Aku bicara itu pada Ibu, tapi Aku urungkan. Aku lebih memilih memeluknya dan tidak bicara apa - apa.

"Ibu cuma wanti - wanti kamu Dan, biar ngga keasyikan sendiri".

Aku mengangguk dan tersenyum menatap Ibu.

Rasanya Aku ingin mengulang kembali semua waktu mudaku dulu, tidak dikejar dengan tuntutan menikah dan banyak menghabiskan waktu untuk bersenang senang dengan Ibu dan Ayah tanpa rasa khwatir akan pertanyaan ini.

 ***

Aku mengaduk kopiku, menunggu Zidan yang berjanji mengajakku keliling jakarta, sudah hampir satu jam, Aku juga sudah meneror Zidan dengan pesan singkat berkali - kali menanyakan keberadaannya, tapi tidak ada balasan, Zidan pasti sedang dijalan.

Aku meletakan gelasku dimeja, Aku pergi kedepan untuk menunggu Zidan.

15 menit kemudian dia sampai.

"Permisi paket". Katanya saat turun dari motornya dan berjalan menghampiriku, masih dengan helm dikepalanya.

"Panas Zidan kenapa naik motor?".

Zidan melihat jam tangannya. "Ini masih jam 9, panas mataharinya masih bagus".

Aku berjalan masuk, Zidan mengekoriku. Aku sudah siap, tapi outfitku tidak cocok untuk naik motor, Aku memakai jumpsit selutut tanpa lengan, meskipun pakai jaket tetap betisku akan terpapar matahari.

"Jadi ngga jadi jalan?". Tanya Zidan yang masih berjalan mengekoriku.

Lihat selengkapnya